Bukan hanya tas kertas jenama fesyen yang laku, karena tas berbahan kertas daur ulang tanpa pemutih, dari Starbucks dan Tous le Jours, pun dijual di lapak daring. Itulah kekuatan brand, yang bukan sekadar merek, tetapi bahasa Indonesia dan Malaysia menyebut keduanya jenama.
Merek itu sekadar nama dagang spesifik yang dilindungi hukum dan menjadi pembeda dari barang lain. Sedangkan brand mencakup citra perusahaan dan produknya yang diberi merek tadi. Merek ada di rak, brand ada di benak.
Karena mewakili citra dan reputasi, dan jika komunikasi pemasarannya efektif, sosok brand di benak konsumen pun seperti kemauan produsen. Maka tas kertas dengan brand kuat tak dapat dilihat dari sisi nilai intrinsiknya sebagai sekadar tas kertas polos.
Sebagai perbandingan, sila lihat harga tas polos dan tas branded yang biasanya diberikan gratis kepada pembeli Starbucks dan Tous le Jours — sama seperti tas di toko fesyen gratis, tetapi dahulu sebelum era lapak daring tas-tas itu dijual di JPO depan Blok M Plaza, Jaksel.
Maka brand juga bertaut dengan aspirasi dan harapan konsumen pencintanya. Jangan bicara soal snob dan snobisme; itu tak sopan, pun berkesan jemawa. Biarkan Suzuki Carry hasil karoseri awal 90-an memasang stiker besar Harley-Davidson di kaca belakang, dan mobil angkot memasang stiker Rockford Fosgate pada bodi belakang bersanding dengan Repsol. Pada masa jaya Mitsubishi Colt Station T120 sekian dasawarsa lalu, di kota-kota kecil stiker besar John Player Special sangat digemari.
Biarkan saja. Anda tak dirugikan, bukan?
2 Comments
Merek ada di rak, brand ada di benak. Kalimat yang sungguh skoy.👍
Pernah saya tulis dalam posting terdahulu, itu ucapan almarhum Pakde Totot Indrarto sebagai orang periklanan 🙏