Sambil meracik bumbu, istri saya bilang, “Ada yang kelewatan, daun salam. Tolong ambilin di Pak Bn, Mas. Tinggal metik, boleh kok.”
Saya segera ke rumah Pak Bn, sejauh tujuh rumah dari rumah saya. Setiba di sana saya celingak-celinguk, tak ada orang, dan yang lebih utama saya bingung mana pohonnya. Sejak dari rumah benak saya kadung membayangkan pohon salam (Syzygium polyanthum) yang kecil, di rumah Pakde Y, beda RT, yang dulu pernah saya petik daunnya.
Lalu Pak B, relawan yang sering menyapu jalan lingkungan kami, yang rumahnya di dekat situ, nongol, “Mau cari salam ya? Itu di pojokan.”
Lalu Pak Bn keluar, “Itu lho, Pak. Ambil aja. Mau banyak apa dikit? Kalo banyak saya petikin.”
Pohon salam di balik pagar itu lebih besar dan rimbun daripada milik Pakde Y. Bisa untuk berteduh orang di luar pagar. Tadi kami bertiga sekalian ngobrol, maka setiba saya di rumah, istri saya tertawa, “Kok lama? Ngobrol ya? Bagus dong. Silaturahmi. ” Saya bercerita, Pak B malah mempersilakan saya ambil belimbing wuluhnya kapan saja, galah sudah tersedia.
Menyenangkan, lingkungan saya masih berpagar mangkuk. Beberapa warga menyediakan tanaman bumbu dapur untuk keperluan komunal.