Setelah ada ponsel, mestinya orang tak butuh arloji dan jam beker. Nyatanya kedua alat itu masih laku.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Beker dan kesamaptaan kita

Kok seperti tentara dan polisi, pakai istilah samapta? Entahlah saya belum menemukan istilah yang pas untuk tidur efektif, terlelap namun siap mendusin lalu bersiaga, namun apabila tak ada yang penting ya tidur pulas lagi. Kewaspadaan, alertness? Mungkin.

Saya mau cerita beker yang akhirnya lebih dikenal sebagai alarm, apalagi kalau alatnya elektronik. Sudah dua tahun saya tak mengaktifkan alarm karena selama pandemi tak ada jalan pagi saat belum terang dan hal itu terbawa sampai sekarang.

Alarm bermusik, karena merupakan sepiker Bluetooth, itu juga sangat jarang saya fungsikan untuk menemani tidur. Lalu tiga malam terakhir gawai itu saya aktifkan, hanya sebagai sepiker, karena saya butuh musik untuk menikmati rehat selesma.

Kalau hanya alarm, kenapa tak memanfaatkan ponsel seperti saat jadi doktor di tempat kerja?

Sejak era feature phone saya jarang banget membawa ponsel ke kamar tidur. Ponsel hanya saya nyalakan saat saya sudah keluar dari kamar dan memang ingin mempergunakannya, tanpa pandang waktu.

Alarm. Beker. Kita butuh. Karena tak semua dari kita mudah membangunkan diri dari tidur.

Abad lalu, sebelum era ponsel, kadang saya memanfaatkan radio pager sebagai alarm, dengan menelpon operator 24 jam. Saat di hotel, dahulu kadang saya memanfaatkan wake-up call. Sekarang sih ada hotel yang menyediakan clock radio Bluetooth Harman Kardon.

Namun pada periode tertentu ketika saya harus senantiasa bangun lebih dini, saat pagi masih hitam, jam biologis saya bisa bekerja dengan baik dan benar. Bahkan misalnya baru tidur dua jam sekalipun.

Hanya orang yang disiplin sejak belia yang selalu bisa bangun pagi, apalagi jika setia bersalat subuh atau sembahyang lain bagi yang berbeda iman. Oh ya, saya ingat obrolan Piyu Padi dan Budjana di YouTube. Piyu adalah early bird, karena sejak kecil kalau dia tak segera bangun tidur, ayahnya akan mengguyurkan air gayung.

Saya bayangkan ketika ragam pekerjaan dan kegiatan belum sekompleks sekarang, jam biologis umumnya orang itu baik — dengan maupun tanpa rajin salat. Tanpa melihat jam, apalagi jika tak punya, orang bisa mengancar-ancar titik waktu terang tanah, matahari sepenggalah, petang (pukul tiga sore mentari terbenam), senja atau surup, wayah sepi bocah, wayah sepi wong, lingsir wengi, dan seterusnya.

Ritme kehidupan kolektif telah memformat jam biologis orang, bahkan ketika sang surya tak menampak penuh kemudian sang candra dan para kartika terhalang cuaca.

Pada masa modern, bahkan sebelum ada kerja jarak jauh yang terhubung dengan negeri lain berzona waktu beda, sudah banyak orang menjadi nokturnal, dari bermain gim, membaca, menikmati hiburan, berbelanja, sampai koding. Ritme kerja kolektif bersifat sektoral, tak sesederhana zaman agraris lama ketika tengah malam di luar rumah hanya ada peronda dan petani yang mengairi sawah.

Waktu. Dan kesadaran waktu. Bisa membentuk perilaku. Misalnya dalam kebiasaan bersikap dan menempatkan diri.

Ehm, saya teringat guyon jayus para bapak dari masa jauh di belakang. Setiap kali kantuk sudah menjemput, seorang perempuan di kamar hotel membisiki lelakinya, “Mas, udah malem…”

Jika esok pagi mereka terbangun kesiangan dalam penat dan bahagia penuh kelegaan, ucapan berubah secara otomatis, “Sudah siang, Pak.”

Mereka sekantor. Beda pos dan posisi. Habit is second nature.

Kriuk.

Beker dan kesamaptaan kita

Analgesik dan radiator coolant

Anda masih pakai jam weker analog?

2 thoughts on “Beker dan kesamaptaan kita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *