Menaruh pantat bukan soal gampang karena menyangkut ruang dan ketersediaan tempat duduk.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Bagi kaum pen-duduk tangga, larangan dalam foto di atas mungkin dianggap lebay. Habis mau duduk di mana? Bagi pemilik bangunan dan penyewa ruang, serta orang yang bertamu, kaum pen-duduk itu mengganggu langkah, apalagi jika yang lewat perempuan dan yang duduk adalah para lelaki. Lebih celaka lagi jika para pen-duduk itu adalah orang luar, bukan pegawai ruang gedung.

Di mana masalahnya? Tak ada ruang duduk untuk umum, di taman halaman gedung maupun sudut lain. Motor yang diparkir kadang juga untuk duduk.

Duduk. Meletakkan pantat. Itu memang masalah. Belum tentu tersedia tempat. Saya ingat dahulu banget saat membayar listrik di loket inkaso. Kursi terbatas. Kalau datang seorang ibu bawa anak kecil masa saya pura-pura tidur?

Di gedung bagus dengan tangga lebar terakses dari trotoar, tak ada orang duduk di tangga apalagi sambil merokok lalu puntungnya tinggal diinjak. Satpamwan akan segera menghalau pen-duduk. Misalnya di Plaza Senayan, Jakpus.

Tetapi di plaza, dalam arti sebenarnya yaitu pelataran, Wisma Anggana Danamon*, sebelum berubah menjadi Sampoerna Strategic Square, warga saat pagi bebas berjemur di sana.

Plaza di Jalan Sudirman, Jaksel, itu dahulu hanya berundak tanpa pagar, begitu pegawai kantor mulai berdatangan, warga kampung menyingkir. Saya terkesan oleh konsep arsitektural dan lanskap gedung yang sosiopetal, bukan sosiofugal itu. Segregasi sosial tak dibangun dengan tembok melainkan dengan penggiringan rasa tahu sama tahu, salah satu pihak diharapkan tahu diri: menyingkir dari berjemur setelah orang kantoran mulai nongol. Itu kesan saya. Bisa jadi ada satpamwan yang mengingatkan.

Begitu dibeli Sampoerna, pelataran gedung itu berubah total, berpagar tinggi, dengan taman rimbun.

Bagaimana jika untuk bangunan rumah tinggal?

Lumrah jika ada pemilik rumah menyediakan bangku di pagarnya. Untuk duduk dan meriung. Tetapi jika tangga masuk ke rumah untuk duduk banyak orang sambil menyuapi anak, saya kurang nyaman. Salah satu alasan saya, tujuh tahun lalu, batal indekos di sebuah gang sempit, yang tidak bisa dipakai memutar sepeda motor dengan sekali manuver, adalah tangga masuk ke pintu menjadi tribun, bahkan malam hari, isinya para ibu di kawasan padat Tanahabang itu, anak-anak bermain sepanjang gang. Tak ada ruang terbuka selain gang.

Duduk. Meletakkan pantat. Kadang menjadi masalah. Dahulu, pada sebuah gedung berlantai delapan di Jakarta, di tangga darurat lantai tertentu selalu ada pen-duduk tetap, merokok sembari ngopi dan membaca, karena belum era smartphone. Tampaknya dia tak punya kesibukan.

Seorang pemred yang sering lewat tangga darurat menanya orang HRD, siapa pen-duduk tangga darurat itu.

Jawabannya langsung ini, “Mss mau nampung dia?”

Menyedihkan. Orang punya meja kerja dan kursi, mungkin juga komputer, di kantornya, dan terus menerima gaji serta bonus, tetapi dia seperti diekskomunikasikan.

Tangga darurat yang jarang dilewati orang menjadi suaka baginya.

*) Tentang Wisma Anggana Danamon lihat Setiap Gedung Punya Cerita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *