Inflasi dan memasak dengan bahan bakar kayu
Berita ekonomi banyak yang muram: ancaman inflasi, pangan makin mahal, bahan bakar minyak dan gas juga. Itu berlaku di banyak negeri. Di Sri Lanka, hotel pun memasak dengan kayu bakar.
Pandemi dan terutama serbuan Rusia ke Ukraina mengacaukan rantai pasok pangan dan energi.
Bagaimana dengan Indonesia? Rakyat kecil tak mau tahu perang Rusia-Ukraina, “Emang mereka ambil telur, cabe, dan bawang merah dari sini? Kenapa di sini mahal?”
Mereka yang paham soal, kalau diperkutubkan, terbagi dua. Pertama: kesal tapi memaklumi pemerintah, dan harus siap dijuluki buzzer, dengan bumbu, “Emang sampean duit dari Jokowi pas susah gini?”
Kutub seberang: “Sebelum ada perang Rusia-Ukraina udah gak beres negeri ini. Sekarang tambah ngehek. Solusinya cuma satu, Jokowi harus turun, nggak usah nunggu 2024!”
Lho bukannya kalau Jokowi turun, keadaan lebih berat? “Jokowi tetep berkuasa udah berat kita. Penggantinya belum tentu beres, tapi pilih mana nerusin tukang lama yang nggak memuaskan dan udah bikin kuciwa, kayak kita jadi keledai yang terperosok dua tiga kali, atau dapet tukang baru yang kalo ternyata payah kan itu pengalaman baru buat kita, sebagai risiko nyoba, daripada pasrah nurut aja sama Jokowi?”
Optimistisme. Pesimisme. Kadang bisa bertukar tempat. Yang jadi masalah kalau serbaberlebihan, optimistis maupun pesimistis.
Di Solo sehari-hari seperti tiada masalah ekonomi. Kedai-kedai besar penuh pembeli, mal-mal juga lumayan ramai.
Kalaupun ada bisnis yang turun, misal konstruksi, itu diyakini banyak pengusaha karena orang-orang sedang fokus ke pendidikan yaitu membiayai anak masuk sekolah/kuliah — tahun ajaran baru.
Semoga demikian adanya 🙏👏👍