Sumpit adalah barang biasa. Bahkan setiap rumah tangga tidak harus punya karena setiap kali kita membeli mi ayam atau dimsum melalui layanan pesan antar selalu mendapatkan sumpit gratis, kadang disertai bonus sebatang tusuk gigi.
Sumpit juga berguna untuk urusan darurat. Saya pernah menggunakan sumpit plastik keras untuk menekan regulator tabung gas, saya ikat tali. Saya juga pernah memanfaatkan sumpit untuk ambalan rak kaca.
Lalu sejak kapan kita, masyarakat biasa di kota kecil, yang bukan keturunan Cina, terbiasa dengan sumpit? Sejauh saya mengingat mulai 1980-an ketika di daerah — maksud saya Jateng dan DIY — ada gerobak mi ayam yang keluar masuk kampung.
Sebelumnya sumpit hanya berlaku di rumah makan masakan Cina, termasuk yang khusus mi ayam, tetapi pengudap bisa minta sendok garpu — atau malah sudah sudah tersedia sendok garpu dan sumpit dalam wadah di atas meja.
Beberapa teman saya keturunan Cina, saat saya remaja di Salatiga, dahulu tak semuanya akrab dengan sumpit. Makan bakmi goreng di rumah ya pakai sendok garpu. Di warung bakso? Hampir semua pengudap menggunakan sendok karena tak semua orang bisa menjepit bakso dengan sumpit.
Lalu apa kenangan tentang sumpit ketika saya bocah hingga remaja di Salatiga? Pertama: yang terampil bersumpit adalah orang dari Jakarta, apapun etnisitasnya. Sumpit, di mata saya dahulu, adalah gaya bersantap metropolitan.
Kedua: sumpit menjadi tusuk sanggul perempuan, termasuk Bu Guru SD saya. Dalam amatan mata bocah, itu adalah sumpit kecil berornamen. Tusuk sanggul bukan sumpit, melainkan paku besar, saya lihat setelah saya dewasa di Jakarta, dikenakan oleh seorang pemusik, Mas Bambang Bujel Dipuro.
3 Comments
Di Solo Raya lebih populer istilah tusuk konde daripada tusuk sanggul.
Oh iya! Tusuk kondhé.
Saya yang salah sebut. 🙏🌺👍
Tapi menurut Google memang ada istilah tusuk sanggul, Paman. Kalah populer saja.😁