Kuliner adalah hasil akulturasi, namun adopsi masakan Cina tertentu mulanya menyantap tanpa sumpit.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Sumpit gratisan dari membeli makanan via Gofood

Sudah lumrah jika orang sekarang, tak hanya orang keturunan Cina, bisa memakai sumpit. Generasi orangtua saya tak semuanya dapat menggunakan sumpit.

Dulu waktu saya kecil di Salatiga, Jateng, ketika kami sekeluarga mengudap di rumah makan Cina pun tak sedikit pengudap Cina yang menggunakan sendok garpu saat makan bakmi. Tapi kalau di warung bakso dan yamin mereka umumnya menggunakan sumpit.

Teman-teman Cina saya tentu dapat menggunakan sendok garpu maupun sumpit. Saya belajar pakai sumpit dari majalah Belanda milik ibu saya. Grothal-grathul akhirnya merasa bisa. Tapi karena tak sering saya praktikkan ya kagok.

Kini sumpit menjadi hal biasa. Bahkan digratiskan. Hampir semua orang bisa, apalagi jika terpaksa.

Anda yang lebih muda daripada saya mungkin geli, kenapa sumpit pernah menjadi hal merepotkan. Sudah biasa jika orang sebaya saya, apalagi di rumah makan Cina, minta sendok garpu.

Lalu apa moral ceritanya? Pertama: makanan adalah contoh terdekat akulturasi tanpa kita pikirkan. Kedua: sebagai hasil persilangan budaya, hidangan Cina yang biasa disantap dengan sumpit pun diperlakukan seperti gudeg dan nasi rames, menggunakan sendok garpu.

4 thoughts on “Sumpit dan penyesuaian cara makan

  1. saya termasuk yang bisa, dan sering makan pakai sumpit.. paling repot sumpit logam di restoran korea karena selain berat juga licin.. plus sumpitnya dibedakan untuk mengambil makan tengahdan sumpit yang masuk ke mulut..

    ohiya, apakah paman tahu perbedaan sumpit jepang, cina, dan korea?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *