Maaf judul posting ini peyoratif dan rasis. Maka bersabarlah. Bacalah sampai selesai. Intinya, sekarang ini kalau mendengar kata “gurun” yang terbayang bukan Kalahari maupun Gobi melainkan gurun entah apa di Timur Tengah, yang pasti bukan Negev, karena lebih mengarah ke wilayah Arab, entah di negeri apa.
Bagi sebagian orang, Arab berarti Islam. Lalu dalam polarisasi politik di Indonesia karena Pilpres 2014 dan 2019, juga Pilkada DKI 2017, gurun terlekat dengan istilah kadrun (kadal gurun). Istilah ini melecehkan, sarat sentimen negatif SARA.
Lalu amatilah kantong kopi bubuk ini. Mereknya Padang Gurun. Jika Anda masih menautkan gurun dengan kaum pengibar politisasi Islam dari garis intoleran, yang bahkan memimpikan khilafah, nah sudah saatnya meralat diri dan merevisi takarir (glosarium) dalam benak. Padang Gurun dalam kopi ini adalah nama komunitas Katolik di bawah Serikat Carmelitae Sancti Eliae (CSE) yang lahir di Indonesia.
Penanaman negatif terhadap pihak yang tak disukai adalah kecenderungan manusia. Dulu ada kapbir (kapitalis birokrat), setan kota, antek imperialis, antek kapitalis, manikebu (dekat dengan mani beku dan mani kebo), cinkolim (Cina kolonialis imperialis), lalu akhirnya ada salibis (kutub seberangnya sabili) dan antek aseng (asing dalam arti Cina dan Tiongkok).
Merendahkan, melecehkan, bahkan sambil berharap amarah pihak terserang, adalah kegemaran para penghayat konflik, bila perlu sampai membelah masyarakat alias menciptakan iklim segregatif, supaya lebih jelas siapa kawan, siapa lawan. Hanya ada kita dan mereka. Tangkisan pihak terserang bisa tak terduga, misalnya, “Kalau ada yang menyebutmu kadrun berarti mereka komunis.”
Demonstrasi aktivis Gerakan Wanita Indonesia, Gerwani, di Jakarta awal 1965. pic.twitter.com/LrTUpRNhA0
— Potret Lawas (@potretlawas) March 8, 2018
2 Comments
Setelah pemakaian nama beberapa binatang (kampret, cebong, kadal) dan bukan binatang (komunis) semoga tidak muncul nama-nama lainnya.
Semoga. Udah jadi adat sih 🙈