Lebaran dengan mudik, atau setidaknya silaturahmi di dalam kota, selalu berisi lagu tanya. Misalnya, calonmu mana, atau kapan kirim undangan, dan bisa juga jangan terlalu lama menikmati kebebasan, entar tahu-tahu usia sudah di anak tangga atas.
Mbak Emma Jangantanya kepada Kamso dan Kamsi pekan ini bilang, “Bukan cuma si genduk yang nggak nyaman. Aku ibunya juga. Bapaknya aja yang aneh, tetep kalem. Ditanyain soal kawin itu ngeselin.”
Emma menikah usia 35, dapat suami usia 40, setelah dijodohkan. Mereka sengaja dipertemukan oleh keluarga masing-masing. Digathukaké, kata orang Jawa. Mereka punya anak tunggal, Genduk Sari, sudah bekerja sebelum wisuda tiga tahun lalu.
Kamsi menghibur Emma, “Jalan jodoh pasti ada.” Kamso manggut-manggut. Emma adalah sejawatnya, lalu keluar setelah menikah.
“Halah, Kam pasti mau meledek. Dulu waktu aku resign mau married, dia nanya katamu lebih enak melajang. Ya, kan?” sergah Emma. Kamso tertawa kecil.
Lantas Emma memutar ulang cerita. Dia mengakui dulu berlagak cuek kalau ditanya soal pacar apalagi suami, “Entar gampang.” Dia memasang poster “Alone But Not Lonely” di tembok tempat meja komputernya menempel. Di telepon mejanya ada stiker “Being Single Is Not A Crime”. Emma tak pernah berkencan. Bahkan beberapa kali bilang, “Suami itu nggak penting.”
Kini dia mengakui, tak ingin putrinya melajang, “Aku pengin cucu. Wajar dong.”
“Lha Genduk udah pengin nikah apa belum, Mbak?” tanya Kamso.
“Dia kayak ibunya dulu. Pengin tapi gengsi. Buat inisiatif nembak cowok juga malu. Aku akui aku dulu jaim. Tapi jaim itu perlu buat jomlo. Jangan banting harga,” kata Emma.
“Malu tapi mau. Tapi begitu dijodohin langsung bilang oke. Nggak perlu perjuangan ya, Mbak. Hehehe…” kata Kamso.
Ujung sniker kanan Emma menendang lunak sepatu sandal Kamso. Kebiasaan dia sejak muda terhadap kawan pria.
¬ Gambar praolah: Freepik
Pandemi menghalangi perjumpaan hati, status jomlo sampai hari ini