Kenapa sebutan perawan tua dianggap lebih melecehkan ketimbang perjaka tua? Kan sama-sama lajang matang?
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Ada enam stiker bercetak kasar dalam selembar kertas itu. Semuanya siap kelupas. Tapi ada satu yang menarik perhatian saya: stiker perjaka tua.

Sebagai pelesetan untuk merek Orang Tua, istilah perjaka tua – apalagi bujang lapuk – jarang saya dengar. Rasanya kata itu mendekati arkais.

Selain perjaka tua ada pula perawan tua. Keduanya bukan sebutan yang mendatangkan rasa bangga. Tapi perawan tua tampaknya dianggap lebih menghina. Kenapa ya?

Istilah tak laku kawin juga kurang menyenangkan. Seolah seperti dagangan. Sudah ditawarkan ke sana ke situ tetap tak ada yang mau ambil bahkan secara kredit.

Di sisi lain, jawaban “belum ada yang cocok” dari orang jomlo tetap mengundang diskusi. Yang ogah itu si jomlo atau orang lain yang dibidik?

Atau bisa juga melalui simplifikasi ala statistik. Dari sepuluh orang yang sampean taksir itu, berapa yang menunjukkan gelagat mau? Kalau tak ada yang mau berarti ketidakcocokan ada di pihak lain. Bukan pada si jomlo.

Tapi… apakah setiap status jomlo itu masalah bagi yang bersangkutan? Lebih penting lagi apakah merugikan orang lain – bahkan bangsa dan negara?