Kadang kita cenderung mudah menyalahkan korban penipuan, apalagi jika jurus tipuannya padat rayuan, sehingga korban pun terlena, serasa mengapung bersama awan kapas mewangi di awang-awang seberang pelangi. Akhirnya uang terkuras. Belum lagi perasaan terhina jika telah teperdaya secara seksual.
Saya lebih dari sekali tahu korban penipuan macam itu, dengan pelaku lelaki penebar racun cinta semu. Kasus terakhir yang saya tahu menimpa seorang perempuan lajang berusia hampir 50 tahun. Tak pernah ada tatap muka langsung, semuanya melalui dunia virtual. Tabungannya sebagai perawat bayi sebesar Rp60 juta terkuras secara bertahap, antara lain untuk membelikan ponsel dan tiket pesawat dari luar Jawa, padahal lelaki itu tak pernah mendarat di kota si perempuan di Jabar. Lingkungan menyalahkan dirinya.
Memang muslihat atas nama cinta terjadi sejak dulu sebelum ada internet. Kadang yang terjadi lebih jauh, si perempuan hamil, dan si lelaki lenyap ditelan alamat antah-berantah. Nama aslinya pun tak diketahui. Jati diri ada dalam halaman fiksi.
Laporan investigatif koran Kompas (21/4/2022; kebetulan pas Hari Kartini) bukanlah paparan jurnalistik tabloid. Selain drama ada data dan verifikasi. Dunia virtual yang memberikan kebebasan pada banyak perempuan jika terbandingkan dengan generasi sebelumnya, sehingga tak dikungkung rem dari lingkungan sekitar, karena semua hal ada dalam barang pribadi bernama ponsel — bukan komputer desktop berlayar CRT jadul yang terlihat orang lain —dimanfaatkan oleh para predator.
Tentu urusan selanjutnya selain pemrosesan oleh polisi adalah literasi media sosial. Bukan paradoks sih, karena jejaring sosial dan medianya yang relatif terbuka, diperkaya dengan platform kencan, akhirnya menjadi etalase publik maupun semi publik, namun bisa menggiring pelaku dan korban ke ruang privat virtual bahkan berlanjut ke pertemuan tatap muka secara fisik.
Tentu di ruang privat tak melulu berisi penipuan, karena tak sedikit yang sampai pelaminan, atau setidaknya berpacaran yang jelas, saling tahu, namun akhirnya buntu menjelang muara jodoh. Media sosial seperti halnya kehidupan sosial nyata hanya menjadi ketukan pintu, jika berkesesuaian akan menuju hati dan saling mengisi. Tak beda dari pasangan yang berjodoh karena diperantarai adik dari bekas tetangga yang menjadi temannya abang ipar dari sepupu. Memang jauh dalam riwayat mula kelindan jaringan, namun akhirnya menjadi suami istri.
2 Comments
Kasus klasik, klise, tetapi selalu terjadi. Tak beda dari kasus di dunia nyata, anggota TNI gadungan (dan sebangsanya) memperdaya perempuan untuk motif uang dan seksual.
Bahkan jika ditelisik mungkin saja kasus-kasus TNI gadungan dan semacamnya itu pun bermula dari dunia maya.
Tentu tidak elok jika menyalahkan para wanita korban pria ndembik itu.
Lha ya itu.
Maka ortu yang punya anak perempuan perlu menanamkan kehati-hatian.
Lho bukannya cowok juga bisa jadi korban? Iya sih, tapi ada yang beda dari kasus cewek 🙏