↻ Lama baca 2 menit ↬

BUKAN SALAH SI RUBRIK JODOH.

Bagi saya, surat pembaca ini bukan lelucon. Ini drama pahit. Perlu keberanian bagi korban untuk menulis di Kompas, dengan risiko akan ditertawakan oleh orang sinis miskin empati, “Salah sendiri kenapa nyari suami lewat koran.”

Mencari suami lewat rubrik jodoh, dengan memampangkan foto diri, adalah langkah berani. Kenapa di internet bisa? Alamnya berlainan. Koran, saat ini, adalah media lama, yang bisa digunting lalu diedarkan (termasuk via web).

tertipu suamiLho bukannya, di internet juga bisa dicetak, atau dibuatkan screenshot untuk diedarkan dan dicetak? Pembacanya (dan perilakunya), sejauh ini, kayaknya masih berbeda dari koran.

Penah survei? Belum. Ada data rujukan? Tidak. Tapi kesimpulan sementara saya memang begitu. Memasang foto diri di rubrik jodoh perlu keberanian melebihi pasang foto (dengan lingerie segala) di online dating. Penyebabnya, masih dalam dugaan saya, pencari suami (atau istri) di koran, terutama yang berusia 35 ke atas, dan tinggal di kota kecil, belum terlalu menjadi bagian dari aktivitas online. Kontak dengan orang baru-dan-asing masih terbatas.

Kembali ke soal awal: “menawarkan diri” lewat koran. Meski anonim, dan tanpa foto, sejak dulu urusan yang ini perlu keberanian ekstra karena lingkungan kadang tak mendukung. Belum lagi risiko menerima surat perkenalan dari sepupu atau atasan atau malah mantan.

Setelah tertipu, kemudian mengadu ke koran, ini juga butuh keberanian. Salah-salah dibilang beli suami dalam rubrik karung.

Lantas di mana masalahnya? Tipu-menipu ada di mana pun. Mau Astuti (asli tukang tipu) atau Johnny Tricky, itu tak melulu karena kontak via rubrik cetak maupun online (acara Oprah yang ditonton anak saya pernah membahas tipuan lewat kencan maya). Pacaran biasa, lama banget sampai akhirnya menikah, tapi kemudian diporoti, juga ada.

Siapa pemorotnya, lebih banyak pria atau wanita? Saya tak punya data. Tapi bisa saja dalam sebuah perkawinan itu masing-masing pihak secara bergilir menjadi korban dan sekaligus pelaku. Kalau happy ending (tepatnya: never ending story yang memanjakan), urusan tak sampai ke koran apalagi polisi.

Catatan:
semoga tidak ada komentar aneh sebangsa “penulis adalah pengamat rubrik jodoh di koran…” maupun “ini pengalaman pribadi ya, Paman?” :D:P

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *