Yang namanya seni kontemporer itu kadang membingungkan. Oh, ralat: bukan kadang tetapi sering. Akibatnya, orang awam seni rupa seperti saya setiap kali mendapati hal yang menarik di mata saya anggap seni kontemporer.
Yang saya anggap menarik itu ketika benda saya bekukan sebagai gambar lalu saya cabut dari lingkungannya, misalnya menjadi foto di blog.
Padahal konsep seni di ruang publik itu justru untuk menggedor kesadaran masyarakat di situ tentang suatu isu. Kalau benda yang bukan lukisan maupun patung dalam pengertian konvensional dibawa ke ruang galeri dengan tata cahaya bagus? Ya samalah, menyampaikan suatu pesan.
Lalu foto simpul tali kain perca di pinggir kali ini? Saya menganggapnya seni instalasi. Bedanya dari karya perupa yang dibahas media apa? Soal siapa yang bikin, siapa kuratornya. Lebih mendasar lagi: karya di pinggir kali ini tak dimaksudkan oleh pembuatnya menjadi karya seni apalagi dibahas. Saya saja yang aèng-aèng, padahal saya bukan mayor, bukan kopral, seperti yang di Solo itu.
6 Comments
Waaaaa, Mayor Haristanto —Presiden Republik Aeng-aeng dan kakak Broto Hepi eks jurnalis Bola — yang pangkatnya mandek😬 dan Kopral Bagio yang sudah seperti saya : pensiun.😁
Saya gak kenal Mayor padahal seangkatan, beda jurusan. Tahu kalo namanya Mayor dari koran KR, ada fotonya, dalam berita tentang sanggar anak-anak. Kalau kangmasnya, blogger Bambang Haryanyo, kenal secara virtual. Tentang Broto, saya cuma tahu nama, padahal kantornya di lantai dua, di atas kantor saya dulu. Gedung itu hanya dua lantai, sempat dipakai persda.
Oh iya jadi inget ada Mas Bambang. Blognya dulu apa, Paman masing ingat?
Satu lagi nama dari keluarga besar asal Wonogjri tersebut : Basnendar, sekarang dosen ISI surakarta.
Duh lupa saya. Kalo gak salah pake nama serapan asing. Oh epistoholik. Ini kali ya?
http://episto.blogspot.com/?m=1
Posting terakhir 16 Februari 2006.
Oh iya ya. Suwun. Blog ajaib dengan konten ajaib. 🙏🍓🌺