Sekilas kenangan tentang sebuah koran kota supaya Poskota tak sendirian sebagai penyaji kabar metropolitan.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Koran Warta Kota edisi Jumat 21 Januari 2022

Tersebab lapar dan kecapaian padahal baru mengayuh sebentar saya belok ke warung padang sore tadi. Baru ingat, saya belum sarapan maupun makan siang. Selesai makan dan membayar saya lihat koran di meja lain. Melihat saya tertarik, Uda Fadli, pemilik warung, mengambilkan koran lain, “Ini yang baru, hari ini, Pak.”

Dua hal menarik saya jumpai. Pertama, masih ada orang membaca koran dan teratur saban hari. Kedua, ternyata Warta Kota masih terbit — saya sangka tinggal versi web.

Saya baca sekilas. Lalu mengecek boks redaksi. Beberapa nama masih saya ingat. Dari boks redaksi saya baru tahu grup Tribun punya ombudsman.

Selesai baca, dan saya hendak beranjak, seseorang entah siapa bertanya, “Bagus, Pak?” Saya mengangguk tapi senyum saya tertutup masker.

Tak saya katakan karena saya tak kenal orang-orang di situ, bahwa saya dulu sempat di koran itu sebelum diluncurkan, terlibat dalam dummy sebagai pendatang akhir, sampai menjadi orang pertama yang keluar dari rombongan setelah koran berjalan.

Ah, saya teringat pertemuan dengan eks-wapemred Warkot, Hendry Ch. Bangun, di Dewan Pers saat saya dan teman-teman di media baru beraudiensi empat-lima tahun silam. Ada dua anggota dewan yang saya kenal selain bekas atasan saya, yakni sang ketua, Yosep Adi Prasetyo, dulu sejawat.

“Kamu masih suka nginep di kantor, Tyo?” tanya Hendry sambil tersenyum.

2 thoughts on “Warkot yang tak saya jelaskan di warung makan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *