↻ Lama baca 2 menit ↬

Mengutus wesel pos ternyata ribet

Akhirnya wesel yang saya terima tempo hari saya uangkan. Tadi pagi saya kayuh sepeda ke kantor pos kecil, saya tak tahu itu agen pos atau semacam kantor pos cabang pembantu, di Jalan Pasar Kecapi, Jatiwarna, Pondokmelati, Bekasi. Maret lalu kantor pos ini masih buka. Tapi tadi sudah tutup. Ruang sewa sedang pemilik tawarkan (gambar 1 dalam kotak).

Kantor Pos dikontrakkan

Sambil menyeka peluh, saya mencoba mengingat-ingat kantor pos lain tanpa bantuan Google. Oh ya, ada. Sejauh satu kilometer dari situ. Saya pun ke sana. Buka. Saya lega (gambar 2). Tapi ternyata hanya agen. Tidak bisa mencairkan wesel pos.

Penunggu kios menganjurkan saya ke Kantor Pos Jatirahayu, Jalan Raya Hankam (gambar 3). Saya pun ke sana. Buka. Tapi sepi. Petugas parkir duduk sendirian. Tak ada motor maupun mobil pengunjung.

Contoh penulisnya alamat pada surat di kantor pos Jatirahayu Bekasi

Di dalam ada dua petugas, perempuan dan pria. Entah kenapa urusan tak secepat kasir bank. Maka saya ngobrol dengan pria pendamping kasir. Nyambung.

Karena saya punya ingatan tentang aneka hal pos, Pak Petugas mengira saya bekas pegawai pos, atau dari keluarga pos, karena sepeda saya oranye, dan kebetulan yang saya kenakan sejak helm sampai sandal gunung punya aksen jingga. Saya sempat memotreti ini dan itu sambil menunggu Mbak Kasir selesai.

Akhirnya Mbak Kasir bilang, “Sudah, Pak. Bawa fotokopi KTP nggak?” Saya bilang tidak. Lalu mereka menganjurkan saya memfotokopi di kios seberang kantor pos.

Oh, fotokopi KTP. Tahun 2021 hampir tamat, kok masih ada permintaan macam itu. Saya ingat, akhir 2019 ketika mengurus BPJS Kesehatan maupun Ketenagakerjaan juga harus membawa fotokopi KTP. Tahun lalu ketika bayar pajak mobil juga. Nanti kalau suatu saat — semoga tidak terjadi — saya kehilangan KTP lalu mau bikin pengganti mungkin juga harus bawa fotokopi KTP.

Terus semua fotokopian itu siapa yang menyimpan dan barangnya diapakan?

Untuk menguangkan wesel pos harus pakai fotokopi KTP

Singkat cerita uang cair. Tapi pikiran saya masih berisi layanan pos. Sebagai BUMN, PT Pos Indonesia punya kewajiban pelayanan sosial, jadi meskipun secara komersial tak menguntungkan ya harus dilakukan.

Meskipun public service obligation (PSO) itu misi mulia, apakah tidak bisa layanan lintas platform dibikin seefisien perusahaan logistik swasta, bank swasta, dan e-commerce?

Masa sih perusahaan yang dulu bernama PN Pos dan Giro tidak bisa? Mereka itu pelopor lho. Mereka mewarisi layanan kolonial sejak abad ke-18.

Evaluasi layanan kantor pos: kriminal?

Saya tidak tahu papan dengan tulisan yang mirip opsi penilaian layanan itu kenapa dipasang padahal tidak ada token, kupon, maupun kode QR untuk menilai. Kalaupun ada, saya takkan memilih nomor lima, paling bawah, blok teks merah. Saya punya kenangan baik ihwal kantor pos dan Pak Pos. Bahkan sampai kini saya masih menerima kiriman via pos.