Onas-anies, gonjar -ganjar, copras-capres…

Sampai kapan jawanisme mewarnai pertumbuhan bahasa Indonesia?

▒ Lama baca < 1 menit

pola pembentukan kata onas-anies, gonjar-ganjar, copras-capres dalam bahasa Indonesia

Sabar, saya tak sedang meracau soal politik. Ini soal bahasa, tepatnya bahasa Jawa. Masalahnya, pengaruh bahasa Jawa masih kuat. Media terpengaruh narasumber berbahasa Jawa, sehingga dalam kutipan langsung pun tak terhindarkan penyerapan kosakata Jawa. Sejak dulu. Sejak zaman Bung Karno.

Tadi ketika membaca komentar Lik Junianto, tentang citra politis Anies Baswedan, saya teringat pertanyaan seseorang yang belum bisa saya jawab tentang pola pembentukan kata. Lik Jun menyebutkan “onas-anies” dan “gonjar-ganjar”.

Apa istilah linguistik untuk pembentukan istilah tadi saya lupa. Polanya pun saya tak paham. Nyatanya penutur bahasa Jawa dengan cepat dapat mengatakan “copras-capres”, “pilpras-pilpres”, dan “porta-partai”. Hal itu seturut wira-wiri, gonta-ganti, gonjang-ganjing, dan ontang-anting. Memang ada yang sulit, karena yang tertulis secara baku berbeda dari pelafalan: lunga-lunga (baca: lunga-lungo), kalau dipaksakan menjadi bahasa Indonesia akan berupa perga-pergi. Mirip dagelan pentas Srimulat zaman dahulu yang kerap mengindonesiakan kata-kata Jawa secara paksa.

Apakah karena menyangkut dua suku kata? Entah.

Untuk kata “pilkada” sulit dimainkan. Namun untuk “pandemi” bisa saja “pandema-pandemi”. Mungkin juga bisa untuk “gelinjang-gelinjing” — terlepas dari konotasi kata “gelinjang”.

Bagaimana jika menyangkut empat suku kata bahkan lebih? Dalam bahasa Jawa, seingat saya, belum ada yang dimainkan.

Dari sisi konotatatif atau kesan makna, saya menganggap pengucapan copras-capres, onas-anies, dan gonjar-ganjar itu berbalut sinisme. Tentang penyebutan sesuatu secara berlebihan, teramat kerap, yang bisa membikin kesal, setidaknya jemu.

Lalu? Ehm, sebenarnya saya bicara politik juga dalam posting ini. Politik bahasa. Rasanya masih jauh media berita dan media sosial memperkaya bahasa Indonesia dengan lebih banyak memungut istilah non-Jawa. Kuncinya ada pada narasumber yang ucapannya dikutip dan para penulis non-Jawa, pun non-Sunda dan non-Betawi, dalam mendesakkan kata.

Bahasa Indonesia secara alami terlalu menjawa. Dan saya, meskipun bukan pemengaruh, adalah bagian dari larutan yang menjawakan bahasa Indonesia.

¬ Gambar praolah: Shutterstock

5 Comments

Yeni Setiawan Jumat 24 Desember 2021 ~ 15.07 Reply

Kalau saya tidak salah, disebut sebagai dwi lingga salin swara kalau dalam pelajaran Bahasa Jawa.

Pemilik Blog Jumat 24 Desember 2021 ~ 19.19 Reply

Oh ya, ya, ya. Betul. Suwun nggih 🙏

soloskoy Jumat 24 Desember 2021 ~ 06.55 Reply

Baiklah!

BTW, Kamso-Kamsi, Poman-Paman wangun. Biba-Bibi tidak wangun😬

Tinggalkan Balasan