Natal dan Kristen datang dari Barat melalui kolonialisme. Lalu apanya sih yang Indonesia dalam Natal selain bahasa?
↻ Lama baca 2 menit ↬

Apa sih yang disebut rupa Indonesia? Macam-macam. Campur aduk. Klaim tentang sesuatu yang asli Indonesia adalah pemicu perdebatan. Bahkan nama Indonesia pun diberikan oleh orang Eropa. Indonesia itu modern karena bagian dari identitas nasion baru.

Barusan saya iseng menghias Natal dengan bahan seadanya. Ketemu kaleng kerupuk, replika kecil, bekas wadah Kacang Disco. Di tangan saya ada identitas Indonesia: eklektik.

Kaleng kerupuk jelas produk berdesain Barat, ada seng dan kaca. Ihwal kerupuk uyel bolong-bolong, saya menduga itu juga produk modern. Kacang Disco dari Bali adalah perjumpaan luar dan lokal dalam jenama. Etimologi disko, dari diskotek yang bermakna pustaka musik, dalam perjalanan waktu juga berarti skena hiburan malam dengan musik dansa dan juga subgenre musik. Indonesia juga punya sejak abad lalu, awal 1970-an, dimulai dari “disco jalan” di Jakarta.

Lalu soal Natal di luar elemen pita keperakan pada kaleng kerupuk? Natal adalah Kristen, adalah Barat. Masuk bersama kolonialisme. Saya tak dapat membayangkan bagaimana jika Kristen yang masuk ke Hindia Belanda dulu, dan sebelumnya, berasal dari gereja ortodoks Arab: Mesir, Irak, Suriah, atau Lebanon, yang sebagian adalah Katolik (= umum) non-Rum.

Identitas Indonesia adalah sebuah perjalanan. Sebuah proses. Banyak agama, tentu dari luar Nusantara, selalu mengalirkan diri dalam proses pribumisasi. Akulturasi. Inkulturasi. Dalam tradisi Kristiani Indonesia pernah ada ungkapan mengemas kabar keselamatan dalam bungkus daun pisang.

Natal sebagai tradisi gereja — Indonesia mengikuti versi 25 Desember sesuai Gereja Katolik Roma dan Protestan — punya dua sisi: perayaan gerejawi yang religius dan festival sosial nan profan. Maka di ranah profan juga merujuk Barat, dari sinterklas, pohon Natal bersalju imitasi, aneka pernik, sampai obral akhir tahun bertema Natal dan Tahun Baru. Lalu beberapa kalangan mencoba mengemas dekorasi yang dirasa “lebih mengindonesia”.

Identitas Indonesia memang sebuah pencarian tiada henti. Kadang pada permulaan bisa bikin heran, tapi akhirnya diterima sebagai kewajaran. Serupa seragam beberapa sekolah Katolik dahulu yang terasa aneh tapi asyik: jin belel, rambut gondrong untuk yang nilainya bagus, dan kemeja batik. Jin jelas Amrik. Batik diterima sebagai klaim Indonesia, tapi sebagai baju batik, bukan kain pelilit badan, adalah kontemporer pada masa awal kemunculan.

Selamat menyambut Natal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *