Saya hanya bertanya, bukan menggugat. Kenapa? Saya tak tahu standar industri es batu kecil-kecil, mungkin layak disebut es kerikil, yang oleh orang Malaysia disebut ais kiub (ice cubes).
Saya membayangkan, kalau pakai air matang maupun Aqua galon jelas tidak ekonomis. Tapi kalau pakai air ledeng, kualitasnya harus sesuai “air minum” sebagai padanan “drinking water” — nyatanya hotel melarang penginap minum dari keran sehingga menyediakan komplimen air kemasan dalam botol.
Ketika melihat kurir ais kiub ini mengantarkan sekantong besar kubus-kubus kecil anyes nyes, saya pun teringat es balok yang setiap pagi diturunkan dari truk, kena permukaan jalan beraspal, lalu disimpan di sebuah kotak berpintu seng di sebuah sudut. Es balok itu akan dibagi menjadi beberapa, tergantung permintaan warung pelanggan.
Bersih maupun tak bersih nyatanya, seingat saya, belum pernah saya sakit perut karena minum es apa saja yang dicemplungi pecahan es batu. Saya juga makan buah potong maupun lotis gerobakan yang didinginkan es batu entah dari mana.
Saya anggap kekebalan saya dulu bagus tanpa japa mantra dari dukun sakti l. Tapi, eh, ralat: saya pernah masuk ICU, dan hampir bablas, lalu setelah sembuh saya dinasihati dokter, “Anda orang lapangan, kan? Tapi jangan makan minum yang jorok, ya.”
Sejak itu saya berusaha hati-hati. Lebih memilih minuman dalam botol atau kalau terpaksa minta teh panas karena berasumsi air panas akan mematikan kuman.
Kembali ke ais kiub. Teman saya pernah bikin angkringan dengan wi-fi gratis, saat memulai bisnis dia memesan ais kiub dalam kantong plastik. “Kita pake es batu priayi. Lebih sehat,” katanya.
Cuma sebulan lebih es priayi itu datang karena berat di ongkos, bukan di temperatur. Selebihnya ya es batu potongan yang diikat tali ban di atas boncengan sepeda mini butut, tanpa bungkus, padahal roda sepeda tanpa sepatbor, yang tiba saban menjelang magrib.
Saya lupa berapa harga ais kiub saat itu. Sedangkan yang saya foto ini, untuk sebuah kedai kopi di lantai dasar apartemen, harga sekantong Rp20.000, beratnya 25 kilogram.
4 Comments
Saya nggak mau minum es yang aneh-aneh mas Antyo, kawatir radang tenggorokan, apalagi jika nggak tau asalnya dari mana π Nanti yang ada harga es murah, harga ke dokternya mahal. Huhuhu.
Kalau di mini cafe saya, es-nya buat sendiri, ala rumahan, pakai air aqua taruh di tempat es batu (warna putih kotak-kotak, ada 10 kotak biasanya) yang dapat gratis dari beli kulkas, terus taruh freezer kulkas. Karena itu stock es batunya nggak banyak π Wk. Untung nggak jualan aneka macam minuman, cuma sedia air mineral dan soda yang sudah ditaruh kulkas jadi dingin dari sananya π
Nah cara lama ini masih laku di mana-mana. Cara domestik. Hanya di rumah. Lebih sehat. Bikin cold brew di rumah sendiri juga lebih sehat dan rasa sesuai selera.
Saya setuju biaya dokter lebih mahal daripada harga minuman. Apalagi radang tenggorokan itu pintu bagi infeksi sekunder, bisa mengganggu produktivitas yang jatuhnya lebih mahal. π
Es kerikil ini orang2 di Solo nyebutnya es kristal.
Baik es kristal maupun jenis2 lainnya, sy nggak pernah meminumnya krn habis minum es saya biasanya langsung pilekπ
Es kerikil, es priayi, cuma istilah terbatas π€£π€