↻ Lama baca < 1 menit ↬

Susunan piring penyangga makanan di warung padang Takana Juo Kodau

Sudah lumrah di semua warung dengan rak kaca di depan. Etalase bersih berarti makanan habis. Tadi ada perasaan glek kuciwa saat saya tiba dengan berpeluh jalan kaki dari rumah ke warung padang ini. Cuma ada susunan piring dan mangkuk yang disebut palung itu. Makanan sudah ludes. Padahal saya lapar.

Soal susunan piring, memang itulah ciri khas warung padang. Ketika lauk habis, maka piring dan mangkuk wadah disingkirkan, sehingga tinggal susunan penyangga. Di warung biasa tak ada pemandangan macam itu, tinggal ambalan kosong. Di warung padang, setelah susunan penyangga — bukan sebagai wadah lauk — akan dibersihkan baru dilorot.

Saya tumbuh sejak TK hingga SMA di Salatiga, Jateng. Meski dulu kota kecil satu kecamatan itu dijuluki Indonesia mini, baru setelah saya akan lulus SMA ada warung padang, di sebelah Toko Bareta milik, kalau tak salah, orang Minang.

Dulu banyak mahasiswa pendatang di Salatiga, dari Nias sampai Papua, tapi setahu saya tak ada dari Aceh maupun Sumbar dan kawasan lain dengan mayoritas muslim. Kenapa? Para mahasiswa yang datang dari jauh itu Kristen, sebagian disekolahkan gereja, untuk kuliah di UKSW.

Dari Almascatie, 2011, saya dapat cerita bahwa rumah makan padang di Ambon tumbuh pasca-konflik. Masakan Minang bisa diterima di mana-mana. Di Hong Kong juga ada, sebelum banyak pekerja migran dari Indonesia.

¬ Lihat sejarah rumah makan padang di BBC Indonesia