Ada dua cara melipir berjarak untuk memahami seorang tokoh: trip singkat perihal pemikirannya serta serpihan sisi humane termasuk yang anekdotal. Jika menyangkut Goenawan Mohamad (GM), untuk urusan pertama tadi ada buku lain. Untuk urusan kedua ya buku ini, berisi tulisan 20 orang dengan sepuluh editor, yang mewakili lingkar pergaulan dia, sebagai bingkisan ultah ke-80 (29 Juli) untuknya.
GM itu komplet: wartawan, cendekiawan, seniman. Dalam pemaparan kurang ringkas: dia itu penyair, penulis lakon, penulis esei kebudayaan, aktivis prodemokrasi, dan pelukis.
Saya? Kenal sebatas kenal sekadarnya. Bertemu dia pun saya jarang. Terakhir saya bersua pada 2010, di Salihara, sebuah pusat kesenian di Jaksel dengan ruang teater yang menurutnya, “Terbaik di Pasar Minggu.” Di ruang kerjanya, dengan bilik tidur, dia pernah mengizinkan saya memotret dirinya dengan helm proyek berlatar potret Lenin.
Kesan saya tentang dia adalah seorang yang serius, isi benaknya penuh, tapi juga jenaka. Dalam ungkapan aktor Butet Kartaredjasa, “Cak Lontong penyair yang melawak, sementara Goenawan Mohamad pelawak yang menyamar menjadi penyair.”
Saya teringat poster rekrutmen wartawan Tempo di kampus-kampus pada 1980-an. Salah satu syaratnya: punya sense of humor.
Dalam buku ini ada lebih dari satu orang yang menempatkan dia sebagai guru. Misalnya tulisan Putu Setia dan Uu Suhardi.
Jenaka juga bisa
Salah satu kejenakaan GM adalah ketika mengenang masa kecil, mungkin SR, di Batang, Jateng. Dia berkisah, dalam hujan deras dengan atap bocor di salah satu ruang, gurunya memainkan biola, kalau saya tak salah ingat, Humoresque-nya Dvorak. Saya pun membayangkan klip video hitam putih.
Dalam buku ini ada beberapa humor GM. Misalnya, menurut Tosca Santoso, saat ditanya wartawan apakah Komite Independen Pemantau Pemilu yang GM ikut membidani pada 1997 itu mampu bertugas, dia menjawab, “Kita pura-pura mengawasi, karena pemerintah juga pura-pura bikin pemilu.”
Akan tetapi GM pernah mengenang sesuatu tanpa niat bercanda. Waktu kecil dia berkesimpulan serdadu Divisi Siliwangi yang melakukan long march itu gagah, “Jam tangannya keren.” Saya lupa dia bilang jam tangan ataukah arloji. Yang pasti dia tak berbagi kesan tentang divisi lain yang kemudian mengendalikan republik ini.
Tentang militer, dia bercerita bahwa kompleks Salihara itu dulunya untuk pangkalan truk sampah perusahaan jasa kebersihan Letjen Kemal Idris (PT Sarana Organtama Resik). Saat itu ingatan saya langsung ke Velbak, tempat Koran Tempo berkantor. Itu dulu juga tempat buang sampah.
Gaya Bung Karno
Kenapa saya malah belum banyak menukil isi buku? Karena saya ingin memperkaya cerita tentang sosok GM. Terhadap seorang kenalan biasa dia yang tampak serius itu bisa terbuka, suatu hal yang tak terceritakan dalam buku.
Ketika saya minta dia menuliskan nama, atau tanda tangan, untuk logo GoenawanMohamad.com, dia ambil pen, lalu menulis, dengan ucapan, “Seperti tulisan Soekarno, kan?”
Sayang situs yang merupakan persembahan kantor saya di Jalan Langsat itu kemudian terbengkalai karena investor kami cabut diri.
Kalau urusan tulisan GM di Catatan Pinggir (Caping) itu enak dibaca tapi belum tentu mudah dicerna, ternyata bukan hanya kesan saya. Amarzan Loebis pun berkesan serupa dengan merujuk “tak semua orang paham”.
Sembilan tahun silam saya mengometari Caping, “Enak dibaca tapi seringkali tak saya pahami karena keterbatasan jelajah saya dalam peta pemikiran.”
Urusan mobil
Dalam urusan pekerjaan sebagai pemimpin, Harjoko Trisnadi, salah satu direktur Tempo, mencatat GM tak mau memakai lagi Toyota Corolla yang dilempari batu dan diinjak-injak perusuh Malari (1974). Dia ogah naik sedan, lalu ganti jip Land Rover. Tapi jip itu dia kembalikan ke kantor.
Setelah manajemen menawarkan pengganti, dia minta jip Toyota hardtop — lebih murah dari sedan. Karena anggaran masih bersisa, perusahaan melengkapinya dengan audio dan power steering, tetapi, “Goenawan tidak tahu soal itu, karena dia hanya memakainya saja.”
Ketika menjadi anggota MPR, mewakili kalangan pers, GM tak mau ambil kredit murah mobil. Gajinya pun kabarnya dia sumbangkan ke lembaga sosial.
Lalu, terkenalkah seorang GM? Pasti. Namun setelah dia bermain di Twitter, pada 2009, seorang warganet yang aktif di media sosial, bahkan bekerja sebagai analis dan perencana konten medsos, yang ikut saya ke Salihara, bertanya dalam mobil, “Kita mau ketemu siapa? Goenawan Mohamad? Dia itu siapa sih kok banyak yang follow?”
Saat itu GM berusia 68, sedangkan si nona penanya berumur sekitar 25.
- Judul: 80 Tahun Burung-burung: Goenawan Mohamad di Mata Para Sahabat
- Editor: Anton Aprianto et al., eds.
- Penerbit: Tempo Publishing, Jakarta, Agustus 2021
- Tebal: xiv + 202 halaman
2 Comments
Saya malah penasaran, siapa si nona di bagian akhir itu?
Baiklah saya jawab. Sekarang dia sudah nyonya dengan dua anak. 😇