KBBI menyerap “pagebluk” (jangan dibaca “peij-blak”; artinya epidemi) dari bahasa Jawa. Hal sama terjadi untuk kata “lindu” (gempa bumi). Selain kedua kata itu, majalah Tempo juga menggunakan kata “sampar” saat membahas Covid-19. Setahu saya “sampar” dari bahasa Melayu. NH Dini dan Buku Obor menerjemahkan La Peste atau The Plague karya Albert Camus menjadi Sampar.
Tempo yakin pembacanya paham ketiga kata tadi. Atau, kalau pembaca kurang paham, mereka akan membuka kamus.
Hal sama terjadi pada Kompas. Dulu mereka punya rubrik Teroka. Kata “teroka” ada dalam KBBI, namun tak disebutkan bahwa itu serapan dari bahasa Jawa. Setahu saya dalam bahasa Jawa disebut “truka” — artinya membuka wilayah, biasanya dari hutan.
Kompas (cetak) dan Tempo (majalah dan koran) termasuk media yang bahasanya bagus dan punya kebijakan bahasa yang jelas.
Mereka berani dan yakin dalam mengandaikan siapa pembacanya. Mereka tahu bagaimana harus berkomunikasi dan berbahasa. Bahwa pembaca ada yang tak paham, itu bukan kesalahan redaksi.
Kemewahan dalam berbahasa
Lebih dari sekali saya mendengar dari orang di bisnis penerbitan daring, eh online, jangan menggunakan kata yang sulit.
Alasannya, “Kita nggak punya kemewahan kayak Tempo dan Kompas. Mereka sudah lama terbitnya. Kita kalo nulis pake kata yang sudah dikenal. Jangan maksa pembaca buka kamus.”
Bagaimana jika media baru tersebut, yang hanya muncul di internet, menyasar pembaca tamatan S1, dengan literasi memadai, sehingga terandaikan mereka akrab dengan bahasa Tempo, Kompas, serta media lain, termasuk buku, yang berbahasa dengan genah?
Ada jawaban pamungkas nan sakti: lihat saja data di Google.
Dia contohkan, pembaca lebih akrab dengan kata “jam tangan” ketimbang “arloji“.
Lalu saya menduga, pembaca lebih mengenal “celana panjang” daripada “pantalon” — anehnya, penjual jins (KBBI: jin) di lapak daring ada yang menggunakan “pantalon”. Di Tokopedia, Shopee, dan Bukalapak ada kata tersebut. Di Zalora tidak ada. Di Blibli ada, namun untuk nama model sebuah tas.
Nah, persoalannya jelas. Rezim Google. Saya pun akhirnya dalam menjuduli tulisan di media terlembagakan lebih memilih “belanja online” dan “e-commerce“. “Belanja daring” dan “e-dagang” saya pakai dalam isi.
Saya harus mempertimbangkan akseptibilitas — almarhum Mas Slamet Djabarudi, editor bahasa Tempo, kepada saya menyebutnya “tingkat keberterimaan” — kata bagi pembaca, antara lain ya karena rezim Google itu.
Kalau untuk blog saya merasa merdeka dalam berbahasa. Ini media pribadi, saya biayai sendiri. Bukan media hasil kerja kolektif. Tidak pakai duit juragan.
Bisa saja saya memakai kata “kutang”, bukan “bra” atau “beha”, dengan risiko dianggap manusia arkais, jadul, ndesa. Padahal Kamus Mode Indonesia, yang disusun Irma Hadisurya, Ninuk Mardiana Pambudy, dan Herman Jusuf – mereka punya otoritas dalam menulis fesyen – memuat lema “kutang”.
Oh ya, kata “cawat” juga ada dalam kamus itu. Kalau dalam penulisan, apalagi dalam komunikasi lisan, saya atas prakarsa sendiri menyebut “cawat belah” sebagai padanan “crotchless thong” pasti dianggap melucu. Orang-orang paham maksud saya tapi mereka merasa istilah rekaan saya tidak classy, jauh dari fashionable. Malah akan disangka itu istilah etnografis.
Kamus makin tebal, kosakata saya tak beranjak
Saya bukan orang yang cakap dalam berbahasa Indonesia. Saya harus terus belajar. Namun saya mencurigai diri sendiri: jangan-jangan saya naif.
Saya seperti berkacamata kuda, menganggap tamatan S1 atau lebih tinggi, pasti mengantongi kasakota yang lebih tebal dari tamatan SMA. Saya seperti abai, masih banyak sarjana yang menulis “didepan” dan “di jual”. Hanya saat sadar saya langsung membayangkan bagaimana bahasa dalam skripsi mereka, dan bagaimana pula kemampuan bahasa dosen pembimbingnya.
Dua belas tahun silam saya memberikan presentasi di sebuah kantor swasta pemegang jenama, eh brand, asing kuat di Indonesia.
Ada lebih dari seorang di antara hadirin — sebagian dari mereka S2 — yang menyergah, “Mas, itu di layar ada ‘lebih lekas’, maksudnya apa ya?”
Maka saya jelaskan maksud saya, tentang proses kerja dan hasilnya. Namun ternyata bukan itu yang mereka tanyakan. Seseorang menyergah, “‘Lekas’ itu artinya apa?”
Saat itu saya sadar. Kamus makin tebal karena isinya terus diperkaya tapi khazanah kosakata sebagian orang, termasuk saya yang kurang lengkap terdidik, makin fakir.
Tentang kata, saya teringat seorang pria yang saat itu, enam tahun silam, berusia hampir 40 tahun, pemilik stasiun radio di Semarang, Jateng, mengatakan, “Gara-gara KLa Project aku dulu kenal istilah baru: terpuruk.”
Saya bilang, bukannya koran dan majalah, misalnya Kompas dan Tempo, sudah lama memakai “terpuruk”?
Dia menyahut, “Kalo Tempo aku nggak baca. Bahasanya nggak enak, nggak asyik.”
Hmmm… penyusun slogan tahun 1980-an “Tempo enak dibaca dan perlu” mungkin akan menepok jidat kalau mendengar ucapan pria muda itu.
Bahasa skripsi yang rileks?
Lebih dari sekali saya mendengar dari orang berbeda, semuanya sarjana, bahwa bahasa majalah Tempo — bukan hanya kata tertentu — itu nggak enak, sulit ditangkap. Demikian pula bahasa Kompas cetak. Mereka lebih mudah menyerap artikel dan berita dari beberapa media daring terkenal.
Oh ya, saya teringat hal lain. Dosen bahasa Indonesia di Fisipol UGM, Yogyakarta, tahun 1980-an, sering membagikan fotokopian berita majalah Tempo. Dalam kelas, yang diikuti mahasiswa aneka jurusan, alur bertutur dibahas bersama.
Penggunaan kata juga dibahas. Saat itu kata “menugasi” belum lumrah, namun dalam fotokopian berita ada. Morfologi tak dibahas dari buku, lalu Pak Dosen mengajak diskusi. Mungkin dia pengikut Mas Slamet Djabarudi yang berjuluk Slamet Poerwadarminta menurut edisi Kecap Tempo.
Goenawan Mohamad pernah mengandaikan satu hal kira-kira begini: bagaimana jika skripsi ditulis dalam bahasa yang rileks namun dari sisi kaidah bisa pas. Mungkin dia mau jual kecap: tulislah skripsi dalam gaya bahasa majalah yang dia dirikan.
Setiap media punya kebijakan berbahasa. Antara lain berdasarkan target pembaca. Lalu adalah buku putih internal sebagai pedoman. Reader’s Digest sejak dulu punya asumsi jumlah kosakata di benak pembacanya — maka bahasanya berbeda dari The Economist dan Foreign Policy. Sama seperti penerbit buku versi sederhana dari karya sastra babon, untuk orang dengan kosakata sebanyak apa sebuah edisi buku mereka bikin — biasanya bertaut dengan latar pendidikan.
Majalah berita di luar negeri secara berkala punya daftar kata yang sebaiknya dihindari. Di Amerika, Associated Press yang dibiayai media, setiap tahun menerbitkan AP Stylebook sebagai rujukan bagi jurnalis.
Menyalahkan media sosial
Tak sampai sepuluh kali, namun saya mendengar keluhan dari orang yang berbeda, bahwa kemampuan berbahasa Indonesia orang Indonesia menurun karena media sosial.
Jika dakwaan itu menyangkut saya, mereka benar. Namun jika media sosial disalahkan, karena cenderung kurang kaya akan pilihan kata, meleset dalam ejaan, berkalimat secara berwayuh arti, saya menolak.
Sebelum ada media sosial, masyarakat sudah bertutur dengan caranya sendiri, yang bisa melenceng dari bahasa baku. Para penutur tetap nyaman. Saling memahami, terutama dalam komunikasi lisan.
Media sosial hanyalah perpanjangan tuturan lisan yang cenderung informal. Secara umum saya melihat orang ingin berbahasa baku untuk urusan formal. Karya tulis anak SMP, bahkan pidato murid dalam acara resmi, disampaikan dalam bahasa baku. Tak ada kata “nggak”. “Kami” dan “kita” pun mereka bedakan.
Mereka yang saya sanggah punya tangkisan sejurus: kenapa banyak jurnalis buruk bahasanya, seakan cuma meneruskan dan meresmikan gaya bertutur di medsos?
Saya punya jawaban pengelak yang sungguh semprul: tanyakanlah kepada pemimpin redaksi mereka, jangan kepada saya.
Kalau saya yang jadi pemred? Akan saya cari tangkisan lain supaya saya tak mereka salahkan. Padahal kalau mau jujur, intinya adalah karena bahasa Indonesia saya belum bagus.