Saya tahu istilah tunggir dari orang Betawi sekitar 13 tahun silam. Ternyata Kamus Besar Bahasa Indonesia belum mengakuinya. Orang Jawa menyebutnya brutu. Ada juga yang menyebutnya “tilis kitip” — hasil susun balik huruf “silit pitik” (= dubur ayam).
Resto Malang di Pondok Indah, Jakarta Selatan, mengabadikannya ke dalam menu: Sate Telesketep. Sesuai dialek Jawa Timuran jadilah “teles ketep” — dibaca “té-lés kétép” karena pengucapan versi aslinya adalah “sé-lét pé-ték“.
Di Kaskus pernah ada perbincangan tentang tunggir: kenapa anak muda tak boleh memakannya?
Saya bayangkan dulu ketika belum ada broiler, seporsi sate tunggir berisi 12 brutu adalah barang mewah karena membutuhkan 12 ekor ayam kampung. Mewah dalam arti kalau yang dibutuhkan hanya tunggirnya, lalu sisanya dibuang.
Nota: Saya pernah menulis soal sate tunggir ini tapi belum ketemu. Mungkin di arsip blog yang belum diimpor ke sini.