↻ Lama baca 2 menit ↬

Apapun rumus pembagian hasil antara musisi, label, content provider, dan operator, ringback tone (RBT) itu gurih. Daripada lagu cuma dibajak melulu masih ada tambang bagi musisi untuk mendapatkan uang.

Untuk satu operator saja, yaitu Telkomsel, tahun lalu RBT yang dia salurkan diunduh oleh 6,7 juta pengguna; hampir dua kali dari tahun 2009. Trafiknya pun berlipat tiga kali dari 2009, dari 5 juta menjadi 15 juta. Tahun ini pasti bertambah.

Kenapa RBT laku? Karena orang ingin berbagi lagu kesukaan pada suatu waktu. Bisa saja saban minggu ganti, toh cuma Rp 3.000 per tiga hari (setara sekali naik angkot). Apalagi terkabar dalam sebulan bisa masuk 500-an lagu anyar.

Lantas apa keanehan RBT? Orang memperdengarkan lagu, tetapi dia sendiri tak mendengarkannya. Orang lain yang dipaksa mendengarkan – kalau mau, sih.

Sungguh sebuah bisnis yang ajaib. Orang menyewa lagu tapi dia tak menikmati. Lagu menjadi bagian penyampaian pesan. Menjadi bagian dari identitas. “Ini lho lagu saya,” begitu kira-kira. Ini ibarat memasang “lospèker” cap Toa di pohon kelapa, tapi si pemutar musik tutup telinga.

Oh, tak soal. Artinya penyewa lagu dan musisi sudah setara: sama-sama tak mendengarkan musik yang sedang diperdengarkan kepada orang lain. :D

Maka wajar saja jika Telkomsel pernah memasarkan ratusan lagu sebelum tahun 2000 (ya, abad lalu) dari Musica Studio’s, pada 2009. Ada saja orang yang ingin berbagi nostalgia untuk menyatakan diri.

RBT adalah lahan baru. Maka muncul lelucon tentang “hook”: buatlah lagu dari bagian yang enak dulu, atau “catchy”, supaya laik RBT. Mungkin menjiplak pun bukan soal. Sekali lagi: mungkin. Yang penting konsumen bahagia.

Lantas penikmat musik yang lagu-lagu favoritnya tak terangkut RBT hanya bisa mecucu. Temannya berkomentar, “Salah sendiri kenapa suka musik aneh-aneh yang nggak terkenal.”

Tak apa, itu soal risiko selera. Mereka yang berbeda dari mainstream harus tahu diri. Bersungut-sungut menagih RBT sama anehnya dengan mengeluh kenapa lapak CD bajakan dan kompilasi MP3 tidak menyediakan rekaman dari grup progrock Polandia.

Ponsel dan konten multimedia akan semakin meriah. Setelah layanan premium RBT – pengguna bisa mengunggah audio sendiri, tapi orang akan bertanya apa bedanya dari penjawab di voice mail – bakal muncul RBT merangkap video dalam pop screen.

Si penyewa video tak perlu menikmati – bahkan mungkin tak bisa, kecuali menelepon ponselnya sendiri dari ponsel lain. Atau menikmati dari ponsel sendiri tapi harus bayar.

Bisnis telekomunikasi memang semakin menggairahkan. Perilaku konsumen mungkin juga akan semakin membingungkan.

*) Dimuat di Kolom Paman Tyo, detikinet 17 Januari 2010

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *