↻ Lama baca 2 menit ↬

MASIH ADA ORANG MENENTENG RADIO KE MANA-MANA.

Sabtu kemarin, dari jarak 20 meteran tampaklah oleh saya: lelaki berpantalon merah dan berkaos polo di bawah pohon itu sedang mendengarkan radio transistor yang dibawanya. Ditelan kebisingan lalu lintas jalan di luar pelataran parkir sebuah tempat di Jakarta Pusat, saya tak mendengar itu siaran apa.

Akhirnya saya mendekat. Ingin tahu.

Selama berjalan ingatan saya terlempar ke masa silam. Masa ketika radio transistor portabel dibawa orang ke sawah dan gardu ronda. Ya, mirip adegan dalam film Laskar Pelangi yang berlatar tahun 70-an: radio transistor dibawa ke mana saja.

Saya terus melangkah, tanpa gegas. Tetapi melamun lebih cepat menjejalkan kata daripada berbicara.

Radio transistor dua band, terutama yang kecil, pernah menjadi teman saya selama beberapa bulan ketika di desa, antara lain untuk teman penelitian, pada 80-an. Radio dua band merah cap National sering menemani saya saat mencuci pakaian di sumur, dulu ketika masih kuliah.

Saya kian dekat. Tinggal lima meteran lagi.

Suara radio mulai terdengar, tapi tak jelas.

Radio transistor berbanyak gelombang, seukuran novel, dengan preset digital, bermerek Sony, pernah menjadi teman saya pada 90-an, untuk mendengarkan siaran luar negeri karena informasi di Indonesia dibatasi. Bahkan di kantor, akhir 90-an, saya pernah akrab dengan radio transistor multiband Grundig yang menangkap siaran apa saja. Pada awal 2000-an, saya sempat akrab dengan radio dan siaran satelit WorldSpace.

Saya sudah dekat.

Jelas, itu suara siaran berita.

Lamunan menjejalkan ingatan seperti cerita pendek. Saya ingat, ketika menjadi repoter dulu, pada awal sampai medio 90-an, sangat mengandalkan stereo recorder Aiwa (seperti Sony Walkman) yang ada radionya. Cara saya untuk mengenal sebuah kota, bahkan di negeri lain, selain dari koran lokalnya adalah mendengarkan radio setempat. Hal ini terulang sekarang saat bermobil antarkota: mencari stasiun lokal.

Ketika sudah berdiri di sampingnya, saya menyapa pria usia mendekati 60 tahun yang sedang menjemput dua putri bosnya dari kantor notaris itu.

“Ini lagi dengerin RRI. Laporan Gunung Bromo,” ujarnya.

Dia kembali menyimak berita. Sesekali ada jeda, untuk melayani saya.

Kesimpulan saya, dia menyukai siaran berita radio. Terutama dari RRI dan Elshinta — termasuk pada dini hari dengan terang pagi.

Begitu keluar dari mobil, yang berarti radio mobil juga mati, dia segera menyalakan radio transistornya.

Lalu keluarlah opininya tentang Gayus, korupsi, bencana alam, dan persoalan aktual lainnya.

Radio, someone still loves you,” kata Queen. Entah berapa kali saya mengutip ini di blog.

Radio. Kadang saya masih menyimaknya.

Radio menjadi teman perjalanan dan bekerja, tetapi selama sekian tahun belakangan jadi membosankan karena siaran classic rock M97 (Monalisa akhirnya jadi Radio Dangdut TPI dan kemudian Radio MNC), dan jazz berseling klasik CNJ (dimodali sejumlah pengacara, antara lain Todung Mulya Lubis), sudah padam.

Jauh hari sebelumnya, akhir 90an atau awal 2000, Top FM milik Puspen TNI tapi diperasikan swasta, yang spesialis musik klasik, dan disiarkan dari Atrium Senen, dengan sebagian pendengar dari kalangan ekspatriat, lebih dulu mati kehabisan napas.

Radio internet? Kadang saja mendengarkan. Bergantung pada kelancaran koneksi.

Apakah Anda masih mendengarkan berita radio? Berita, bukan musik maupun talkshow?

Masihkah?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *