↻ Lama baca 2 menit ↬

PERGUNJINGAN ITU GURIH.

Sore tadi, di sebuah kampung, saya melihat sekelompok warga sedang menyaksikan kambing eh domba diunggahkan ke pikap. Tak penting itu kambing siapa, untuk apa, kapan belinya, karena yang utama ini: urusan seseorang di tengah neighborhood adalah urusan bersama.

Sempat sekian lama saya meyakini bahwa privasi adalah dunia kelas menengah (dan atas) kaum urban. Dulu, semasa bersekolah, saya pernah berkeringat dingin ketika mendatangi rumah seorang tukang bangunan di sebuah slum. Anak bininya ikut menyimak, demikian pula tetangga yang merokok di beranda. Padahal saya datang untuk menawari pekerjaan. Kikuk rasanya urusan bisnis didengar banyak orang.

Ketika saya menjadi reporter, dan mendatangi beragam narasumber di permukiman padat, lama-lama terbiasa juga. Memang ada nilai-nilai yang berbeda.

Di sana urusan seseorang adalah urusan bersama, itu kesimpulan saya waktu itu. Kadang dari lingkungan sekitar saya mendapatkan informasi pendukung — yang tentu saja tak serta merta saya percayai.

Gunjing perkauman dan media lama

Privasi memang bisa menjadi kemewahan bagi kelas menengah-tengah ke bawah. Mau contoh? Ketika seorang warga yang tak pernah bepergian tiba-tiba keluar rumah dengan menenteng tas besar maka para tetangga akan bertanya mau ke mana.

Bandingkan dengan kompleks hunian orang makmur yang segala urusan mobilitas bisa berawal dan berakhir di carport. Begitu pula halnya pengantaran barang, dari TV segede badak dewasa sampai springbed ukuran dua raja (kalau ada).

Tetapi, keyakinan tentang ketiadaan privasi dan kegemaran gunjing hanya untuk kelas bawah itu akhirnya runtuh. Justru sebelum ada media sosial, media lama telah membuktikan. Apapun yang gosippy itu laku. Hanya berbeda subjek dan kemasan saja.

“Ya jelas bedalah. Gosip Hollywood itu lebih classy, lagian, nah ini yang penting… berita aslinya dalam bahasa Inggris. Bukan untuk semua orang,” kata seorang editor.

Lain lagi kata seorang editor majalah cewek. Kalau diringkas begini: gosip infotainment dari Barat tetap dimuat meskipun telat soalnya pembaca tetap lebih suka ketimbang gosip seleb lokal. Kenapa? Pengetahuan tentang seleb lokal bukanlah nilai tambah dalam pergaulan.

Itulah potret media lama: banyak orang yang diam-diam mau tahu urusan orang lain. Maka editor rubrik kabar seleb punya satu rumus sakti. Sebisanya hindari foto close up, senyeni apapun, karena foto kabur yang menampilkan sosok seleb seorang jelitawati dari jambul sampai ujung sepatu tetap lebih bernilai.

Bahwa hasilnya adalah foto yang kurang enak, itu soal lain. Misalnya karena reporternya jangkung dan malas merendahkan badan, maka sosok seleb terfoto menjadi semakin pendek. Seperti anak kecil. Tak apa, kelas fotografi kilat bisa memperbaiki jepretan.

Era media sosial

Sekarang orang tak perlu sembunyi-sembunyi kalau mengikuti gosip. Internet malah membantu untuk menyebarkannya, sehingga gunjingan tak hanya di kantor (sambilrapat) tapi juga dipancarulangkan via milis, forum, blog, Facebook, Twitter, dan lainnya.

Kesimpulan sementara? Orang-orang sekarang lebih jujur. Tau usah malu kalau bergunjing. Bahkan pembuka kebekuan saat memulai rapat bisnis pun kadang berupa gosip — bisa ghibah tentang pesohor hiburan, bisa gosip tentang pejabat publik. Yang tidak tahu tapi tahan gengsi cuma ikut tersenyum. Yang tidak tahu tapi tak peduli disebut naif tenang saja bertanya, “Apa sih maksudnya?”

Media sosial juga memperkaya dengan satu hal yang tak ada di media lama. Apa? Di media sosial, setiap orang bisa menjadi seleb. Setidaknya di lingkup tertentu. Pada era media lama, merekalah yang mencetak bahkan memformat seleb.

Lho apa bedanya dengan cerita kambing di awal cerita ini, bahwa urusan setiap orang adalah urusan lain?

Beda, beda. Di media sosial, urusannya bukan cuma di lingkup perkauman lokal yang bernama pertetanggaan. Di media sosial, kalau urusan kambing menyangkut aktvisnya, maka ceritanya akan menyebar, melebihi batas perjiranan, karena dibaca oleh segenap ihwan atau umat.

Intinya, pergunjingan itu menyenangkan — kecuali bagi korban yang merasa dirugikan, karena ada juga korban yang menikmati namanya beredar. Bahkan tak jarang ada orang yang dengan sadar memancing-mancing untuk menjadi bahan gunjing.

Kalau diringkas, itulah yang namanya “gaul”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *