↻ Lama baca 2 menit ↬

… DAN MARI MENGGUGAT PENGUASA KOTA. :)

Ini bukan soal nyentrik-nyentrikan, dan bukan pula soal berfotoria di trotoar untuk Facebook: ada kursi melintang di trotoar. Dan bukan hanya kemarin sore itu saja kursi bertengger di sana penuh kepercayaan diri. Seruas trotoar di Jalan Ahmad Dahlan, Jakarta Selatan, itu memang aneh. Tak hanya kendaraan yang memalang trotoar. Kursi pun boleh. Dan besok bisa saja ada orang berkemah di sana. Bukankah ruang publik boleh diperkosa oleh siapa saja?

Pukul tujuh lebih sedikit, sepulang dari kedai bersama Bu Simbok, saya kembali melewati kursi kemerdekaan yang sudah diduduki tiga orang itu. Tetapi bukan itu saya pikirkan. Saya ingat, tak jauh dari kursi itu ada tonjolan sisa pipa besi berdiamater sekitar 10 cm di trotoar. Sayang saya tak ingat di mana persisnya.

Untunglah dalam gelap saya masih mengingatkan Bu Simbok agar berhati-hati karena ada besi sandungan. Selesai berucap, kaki saya menyandung sisa pipa keparat berkarat itu.

Untung saya pakai sepatu. Kalau cuma bersandal, bukan tidak mungkin akan terluka. Pernah, di tempat lain, sepatu saya robek oleh tonjolan besi siku sisa pemotongan.

Dulu di Rawamangun, kawasan IKIP (eh UNJ), ban mobil yang saya kendarai langsung meletus karena melindas besi runcing sisa pemotongan. Untung pelan, sangat pelan, karena saat itu saya baru beranjak setelah menunggu tiga mobil saling memotong di pertigaan.

Karena ingin memberi ruang kepada mobil lain, saya pun minggir sehingga melindas tepian trotoar yang melandai bertemu aspal. Di situlah besi terkutuk itu menunggu mangsa. Semoga tak ada kaki manusia yang cedera karenanya.

Di depan Plaza Blok M, pada lintasan penyeberang yang memotong jalur pemisah, juga pernah saya jumpai empat batang besi runcing sisa pemotongan. Saat itu saya sendirian membawa kedua anak saya yang masih kecil. Untung saya sigap. Si kecil langsung saya angkat untuk menghindari musibah.

Tiang-tiang besi yang tak dipakai lagi, itulah sumber ranjau pejalan kaki. Ketika menancapkan tiang, pembuatnya menggunakan cara yang benar dengan menanam dan menyemen. Ketika membongkar papan nama dan rambu, siapa pun pelakunya memilih cara yang menurutnya praktis tapi tolol: cuma menggergaji. Jika masih punya bonus inteligensia sekadarnya maka si pelaku mencoba menumpulkan sisi tajam dengan palu.

Bukan sekali ini saya menulis soal ranjau di trotoar. Yang saya ingin tahu adalah misalkan ada pejalan kaki yang cedera, bahkan cacat seumur hidup akibat kesembronoan dan kedogolan pelaksana pekerjaan kota, dapatkah korban menggugat wali kota dan meminta ganti rugi?

Hanya birokrat bebal dan dungu yang menanggapi setiap (peluang) kecelakaan akibat ranjau dengan ucapan, “Makanya kalo jalan liat-liat!”

Masa sih kita harus mengupayakan perda aneh (dan tidak beradab) yang membolehkan warga menggiring birokrat sengak pengabai keselamatan kota ke jalanan beranjau, dengan menutupi matanya, lantas meminta si birokrat melompat-lompat dan koprol?

Bonus pencelaka warga:
+ Awas! Ranjau!
+ Ranjau penyandung kaki
+ Trotoar milik showroom mobil

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *