↻ Lama baca 2 menit ↬

MESKIPUN GRATIS, TAMAN KOTA PUN BISA MENJADI KEMEWAHAN.

Anak-anak itu memperlakukan air kotor tanpa alir seperti kolam jernih. Bahkan mereka bercanda dengan saling membenamkan kepala ke air cokelat keruh. Tiga hari lalu itu bukan hari libur. Tapi siang itu, di Taman Langsat, Kramat Pela, Jakarta Selatan, mereka leluasa bermain.

Pada putaran ke sekian saya mengelilingi jalur, anak-anak itu sudah mentas, berganti baju. Salah satu anak mengeluarkan kantong tisu. Lalu isinya dibagikan untuk mengelap wajah.

Sepuluh langkah dari tepian empang ada kali beraroma busuk pembelah taman. Di atas tanggul kali, serombongan pengamen punk berbaring. Ada yang mencari ikan. Mereka itulah yang kerap beredar di bilangan Gandaria dan Radio Dalam. Siang itu terdengar suara, “Laperrrrr. Anjritttt!”

Pagi sampai jelang siang, pengisi taman adalah orang-orang dewasa. Sebagian dari mereka adalah orang kantoran yang tak perlu berangkat pagi. Ada juga yang tak perlu ngantor. Dan tentu ada juga yang tak jelas pekerjaannya seperti saya.

Suatu pagi saya berkenalan dengan seorang pria pemilik toko roti. “Ini taman kita semua. Sayang kalinya bau busuk,” katanya.

Siang sampai sore taman itu kadang diisi anak-anak, pengamen, gelandangan, dan satu-dua orang berperilaku aneh (misalnya tertawa sendiri).

Jelang sore, taman itu diisi serombongan anak sekolah. Kadang ada yang bikin film, lengkap dengan sutradara merangkap juru kamera. Pernah tampak seorang anak menjadi clapper boy — tapi setelah itu menjadi aktor.

Selain anak sekolah adalah para pramusaji dan pramuniaga, cowok dan cewek. Seragam mereka ditutupi jaket, setiap orang berpasangan.

Jelang senja, kadang ada pasangan anak SMA mojok, antara lain di gardu. Ada juga yang berok panjang dan berkerudung.

Di seberang Taman Langsat ada Taman Ayodhya. Baru. Bersih. Sayang pepohonannya belum merindang. Beberapa kali ada orang berfoto di sana.

Taman kota. Kita memerlukannya. Saya, sebagai orang Bekasi, hanya menumpang taman milik DKI. Di sekitar rumah saya tidak ada taman seperti itu. Tentu saya tak perlu anjuran agar berpindah ke Kebayoran Baru.

Taman kota. Kita memerlukannya. Tapi siapa saja yang memanfaatkannya? Di Jakarta ini banyak orang yang tak punya waktu. Berangkat dan pulang kerja selalu bergegas. Memanfaatkan taman, secara gratis, menjadi sesuatu mewah.

Apakah di lingkungan Anda, di kota Anda, ada taman yang manusiawi? Cobalah Anda ingat, apakah dalam pilkada lalu ada kandidat yang getol menyorongkan isu itu?

Jangan-jangan kita butuh taman hanya untuk kita pandang. Bukan untuk singgah karena memang tak ada alasan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *