↻ Lama baca 2 menit ↬

ISU KESEHATAN DI TENGAH PURITANISME.

 

national condom week indonesia 2007

Penduduk Indonesia 230 juta, tapi konsumsi kondomnya cuma 100 juta per tahun. Thailand punya 90 juta jiwa, konsumsi kondomnya 200 juta per tahun. Malaysia yang berpenduduk 30 juta jiwa menelan 100 juta kondom per tahun. Demikian keterangan Christopher Purdy, direktur DKT Indonesia (produsen Fiesta), yang dikutip oleh pers.

Lantas kita bersiap menyambut Pekan Kondom Nasional awal Desember nanti. Bagi saya ini menarik. Bukan hanya soal kondom dan segala PHS, melainkan perubahan masyarakat kita. Bagaimanakah kita semua akan menyikapi kampanye kondom ini?

Dulu, ketika dispenser kondom diperkenalkan, ada sebagian masyarakat yang keberatan. Penyediaan kondom secara gampang, bagi kaum puritan, berarti sikap permisif terhadap hubungan pranikah dan luar-nikah. Malah mungkin ada yang menganggap dispenser sebagai pro-promiskuitas yang menyenangkan produsen bungkus titit (yang ini pasti).

Yang terjadi kemudian adalah penyederhanaan “safe sex itu sami mawon dengan free sex“. Free? Berarti main dengan siapa saja tanpa peduli orangnya, dong.

Dispenser memang relatif baru. Tapi itu hanyalah kelanjutan dari sediaan kondom di warung rokok. Bedanya, yang di warung rokok tak disorot. Bedanya lagi, pemilik warung bisa mengenali pembeli (sudah dewasa atau belum), sementara dispenser tidak.

Mau lebih ekstrem? Di Jalan Gajah Mada, mulai magrib sampai subuh berjejer rombong (gerobak kios) penjaja kondom dan afrodisiak — dan disela oleh rombong DVD dewasa.

Kampanye penggunaan kondom mau tak mau memang harus kita lakukan. Buat apa kita ngumpet, tapi kampanye Durex menyelingi klip video, dan stiker Sutra ditempel di mana-mana, termasuk helm dan pelat nomor motor?

 

National Condom Week Indonesia 2007

Buat apa kita merem, seolah-olah tak melihat bahwa meja kasir convenience store dekat kampus menyediakan pengetes kehamilan?

Buat apa kita pura-pura yakin dunia ini beres, tapi statistik PHS tak pernah menggembirakan?

Buat apa kita sok yakin semua jalan lempang rata berpagar, lalu pura-pura tak tahu ada sajian dewasa pendidih hasrat di media, termasuk internet?

Kita harus terbuka terhadap kenyataan. Apakah saya menentang puritanisme? Tidak. Biarlah yang puritan tetap puritan, lagi pula dalam urusan tertentu — tak hanya seks — setiap orang mengantongi bekal puritan kan? Saya pun begitu.

Memang puritan dan (katakanlah) non-puritan bukanlah persoalan hitam-putih. Kehidupan ini kadang tak dapat disederhanakan dengan menepiskan nuansa. Tak dapat pula segala hal dilihat secara biner, hanya ya dan tidak, satu dan nol.

Lantas di mana konteks kampanye kondom? Edukasi dan penyadaran berlaku untuk semua orang, yang puritan dan tidak puritan. Yang puritan sebaiknya punya bekal kognitif yang sama dengan yang tidak puritan. Tanpa itu yang ada hanyalah gumpalan ignoransi.

Bedanya, yang puritan memilih jalan yang tak terlalu berisiko. Sementara yang tidak puritan, apa boleh buat, menyusuri jalur yang — menurut probabilitas — lebih riskan.

Risiko? Sekecil apa pun, itu ada. Risiko PHS, dari yang ringan dapat tersembuhkan sampai yang maut seperti AIDS, selalu ada. Bisa bermula dari higiene lingkungan dan infeksi salah garuk akibat iritasi, tapi kemudian menular melalui hubungan seksual.

Dalam guyon jahat, bisa saja yang puritan suatu saat tertular oleh orang non-puritan akibat ketidaktahuan masing-masing pihak.

Biarlah yang puritan menanamkan nilai-nilai (lama?) dan melakoninya sebagai sebuah jalan hidup, kemudian menularkan jalan terang kepada orang lain. Memang tugas setiap penjaga moral — bahkan termasuk di negeri lain yang bercitra permisif — untuk mengingatkan orang lain.

© original pix (except building): unknown

Bonus: Mencoba kondom sambil traveling gratis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *