↻ Lama baca 2 menit ↬

HUENUAK, LHA WONG GRATIS JÉ!

makan rakus mangas nggeragas

Ketika jam makan siang tiba, sebagian peserta seminar masih asyik berdiskusi sekitar seperempat jam. Setelah itu mereka pindah ke ruang sebelah untuk santap siang secara prasmanan.

Astaga hwarakadah! Lauk sudah habis. Cuma kerupuk dan sambal yang tersisa.

Menurut para pengamat — ya sesama peserta seminar dan petugas jasa boga — penguras santapan datang dari lantai atas dan bawah, seperti ditumpahkan dari lift.

Peristiwa menyedihkan itu terjadi di tengah krismon sembilan tahun silam, saat ekonomi banyak orang sedang tercekik. Seminarnya berlangsung di sebuah gedung intansi pemerintah di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Penyelenggaranya adalah instansi itu. Penyerbu makanannya ya karyawan instansi itu.

Pekan lalu sebuah kantor mengundang saya untuk merayakan ultahnya. Ada pesan: setiap kantor cukup diwakili dua orang karena konsumsi terbatas.

Bagi saya, permintaan itu rasional. Sopan tidaknya bergantung pada cara menyampaikan kan? Juga, jangan lupa, kedekatan pribadi pengundang dengan si terundang.

Saya punya contoh terakhir, dari dua resepsi pernikahan di lokasi yang berlainan belum lama ini. Keduanya punya persamaan: tetamu membludak, sampai AC gedung tak sanggup menurunkan kegerahan hadirin, dan… makanan cepat habis. Padahal tetamu terus mengalir.

Di resepsi pertama, penjaga gubuk es puter geleng-geleng bukan karena mengikuti putaran wadah es. Dia menggeleng karena ditanya kenapa semua makanan habis.

Di resepsi kedua, orang jasa boga yang bertugas mengisi meja mengeluhkan tetamu yang terlalu banyak, melebihi pesanan makanan. Di sana, seorang nona dari wedding organizer mengeluh kepada temannya melalui handy talky, “Gile! Kenapa jadi banyak banget gini orangnya?”

Tamu tak kebagian makanan, bagi saya, ya apa boleh buatlah. Toh sepulang resepsi saya bisa mencari kedai. Tapi bagaimana dengan si empunya hajat, terutama kedua pengantin? Pasti mereka tak enak hati, tapi apa boleh bikin harus terus tersenyum seolah hidangan memadai.

Kali lain saya pernah menghadiri resepsi pernikahan putri seorang juragan stasiun TV di sebuah hotel berbintang lima. Makanan, dan buah segar, amat sangat terlalu berlimpah, dengan keragaman sajian yang kaya, dari masakan Indonesia, Cina, Jepang, sampai Eropa. Makanan di meja belum sampai habis sudah diganti dengan yang baru.

Aneh, tak tampak tetamu yang rakus. Apakah makanan yang berlebihan membuat manusia mblenger?

Tapi di sisi lain, saya pernah mendengar gosip — sekali lagi gosip — bahwa katering tertentu di gedung anu kadang menyediakan makanan dalam jumlah di bawah order.

Saya juga pernah membaca iklan permintaan maaf di Kompas, dari seorang pengusaha katering kepada sebuah keluarga yang barusan bikin pesta pernikahan karena jumlah makanan tak sesuai pesanan.

Seberapa jauh tanggung jawab penyelanggara katering haji kemarin? Saya tak punya catatan.

Pernah saya baca di tabloid Nova, pengusaha katering ditahan polisi karena dia sama sekali tak mengantarkan hidangan ke pesta pernikahan. Si pemesan merasa telah dipermalukan. Tetamu datang tapi tanpa disambut suguhan.

Makanan cepat habis atau malah tersisa banyak, itu bergantung pada sejumlah faktor. Yang langsung terlihat adalah perbandingan hidangan dan penyantap.

Apakah saya pernah numpang makan di acara orang? Ya, padahal tak diundang.

Duluuu… sekali, di masa belia, saya ada janji dengan seorang pejabat. Sudah disepakati untuk ketemu setelah dia berceramah di sebuah konferensi.

Akibat jadwal mulur, ceramahnya ditempatkan setelah jam makan siang. Karena lapar saya ikut prasmanan. Saya paling nglemprot di antara orang-orang bersafari dan berjas di hotel itu. Tak ada satu pun orang yang saya kenal. Kentara sekali kalau nebeng makan.

Eh, nanti dulu. Selain saya ternyata ada juga beberapa penebeng makan. Mereka necis tapi tak ada urusan dengan konferensi: tanpa name tag, dan tak kenal peserta maupun panitia. Ketika saya tanya dari mana, mereka saling melempar senyum.

Salah seorang malah menanya saya, “Lho emang Anda dari mana? Nggak ada urusan sama acara ini juga kan? Kita samalah, Mas! Lunch time gini kan perlu hunting. Ya nggak?”

Hmmm… Mestinya saya dan mereka waktu itu membentuk klub. Coba kalau sudah ada ponsel dan milis, kayaknya bakal jalan deh. Apalagi ada busway: ongkos transpor lebih murah daripada taksi, tapi tetap nyaman.

Baca juga:
Mengerumuni makanan dan berkerumun dekat makanan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *