↻ Lama baca 2 menit ↬

KITA BUKAN ORANG PARTAI TIKUS GOT, KAN?

Got bukanlah tempat yang bersih, tapi dulu itu bukan tempat menjijikkan bagi saya. Dulu. Pada masa kecil saya, semasa SD.

Pada musim kemarau, got yang dalam itu kering, hanya berisi debu dan pasir – bisa untuk bermain ganjilan karet gelang dan adu kelereng, bahkan untuk arena off-road mobil robotik rakitan saya (seperti Lego, bikinan Philips).

Pada musim hujan, got adalah tempat untuk melayarkan perahu kertas dan pernah boat tripleks bikinan sendiri yang bertenaga pelintiran karet gelang. Setelah hujan reda, air yang mengaliri got itu tak kecokelatan lagi sehingga dasar got, berikut pasirnya, akan tampak.

Selain got ada pula gorong-gorong. Pada suatu kemarau, Untung (nama teman saya), memperkenalkan saya pada gorong-gorong berdiameter ± 1 meter yang melintang di bawah jalan raya. Tidak apa-apa, katanya. Saya selalu takut bertemu ular di tempat yang jarang diinjak manusia.

Ternyata tidak ada ular maupun kelabang. Oh ya, tikus (hiiiiii….) juga tak ada. Gorong-gorong itu kering, berdebu, dan adem. Kami bersila, ngobrol di situ. Ada sensasi seolah langit runtuh dan bumi terguncang setiap kali jalan di atas kepala kami dilintasi dokar dan mobil.

Jika dan hanya jika hujan sangat deras, gorong-gorong itu akan dialiri air dari got di sisi barat jalan untuk dituang ke Kali Nongko yang menjurang di timur jalan. Gorong-gorong di bawah Jalan Andong, Salatiga, itu hanya berfungsi saat diperlukan.

Pada hari yang lain, masih kemarau, beberapa anak bandel di sekolah mengajak bertualang. Maka rombongan bocah itu masuk ke got di Jalan Dokter Sumardi. Kami seperti memasuki gua tapi tak gelap amat. Sekitar 50 meter gua kering itu menembus gorong-gorong di mulut pertigaan yang menghadap Jalan Diponegoro.

Saat itu saya mencoba memahami cerita perang kemerdekaan. Mungkin gerilyawan kita berani masuk ke gorong-gorong karena lorongnya kering, dan ketinggian lubangnya cukup untuk membungkuk. Kabarnya gorong-gorong lama di Malioboro, Yogya, yang juga dimasuki gerilyawan untuk menuju ke Keraton, tingginya melebihi badan manusia dewasa.

Bisa jadi gorong-gorong masa perang yang saya terka itu ternyata rendah dan jorok, penuh tikus dan dihuni ular. Hanya kondisi yang memaksa gerilyawan untuk memberanikan diri.

Di kemudian hari beberapa fitur di media mengesankan saya. Anak-anak muda Paris pernah menjadikan gorong-gorong tua sebagai tempat untuk pesta disko. National Geographic edisi bule melaporkan kehidupan di gorong-gorong sebuah kota besar di Amrik. Gorong-gorong kering.

Ada pula beberapa film yang mengesankan saya. Bruce Willis dalam Die Hard with Vengeance berlaga sebagai johan di gorong-gorong yang bisa dilalui truk. Kelompok maling cerdas-keren dalam The Italian Job melajukan Mini Cooper dalam gorong-gorong kering.

Film lainnya saya lupa. Saya juga lupa judul sejumlah games, termasuk di Nintendo versi lawas, yang ada unsur gorong-gorongnya. Tentu saya juga lupa sudah berapa kali mendapati kartun yang memuat gorong-gorong (dan tutupnya).

Jaringan drainase yang memadai, efektif, dan terawat. Masihkah kita punya?

Tak cukup kita menyumpahi cuaca, kiriman dari Bogor, dan topografi wilayah setiap terjadi banjir. Kita juga tak perlu jadi anggota Partai Tikus Got – partai yang pernah dipercandakan oleh Iwan Fals untuk kaum tak berdaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *