↻ Lama baca 2 menit ↬

TIADA LAGI MISTAR PENGGANJAL JIDAT.

jangan terlalu dekat dik!

“Hayoooo… Jangan terlalu dekat dong. Coba angkat lagi kepalamu. Iyak, pinter, sayang,” itulah yang saya katakan kalau anak-anak saya menulis atau menggambar dengan jarak mata terlalu dekat ke kertas.

Di tempat kerja kadang saya mencandai teman (dewasa) yang berlaku seperti anak saya dengan kalimat sejenis. Mereka biasanya tertawa. Malah ada yang bilang, “Iya ya, kedeketan nih… Asyik sih.”

Beberapa kali saya menanyai anak saya apakah gurunya sering mengingatkan para murid untuk menjaga jarak mata. Kesimpulan (tanpa statistik) selama beberapa tahun: para guru jarang melakukan hal itu.

Saya tanyakan hal serupa beberapa teman yang lebih muda daripada saya. Kesimpulannya pun sama.

Saya, dan teman segenerasi, masih mengalami guru bawel yang mengontrol jarak mata murid terhadap kertas. Kadang Pak Guru atau Bu Guru mengambil mistar kita lantas mencontohkan jarak aman. Anda ingat?

Ada lho guru SD (juga SMP) yang mencoba duduk di samping seorang murid yang duduk di belakang, untuk memastikan keterbacaan papan tulis dari posisi itu. Hasil segera: murid dipindah ke depan. Hasil tak segera: dua minggu kemudian si murid sudah berkacamata.

Adik kelas saya di SMP dulu ketahuan bermata minus karena sering salah baca tulisan (termasuk notasi lagu) pada papan tulis. Orangtuanya dipanggil ke sekolah. Minggu depannya anak itu sudah berkacamata.

Tapi ada juga pengamatan yang tak segera membuahkan hasil. Sekian lama seorang anak (di luar Jakarta) mengalami gangguan mata. Pelajarannya tertinggal.

Akhirnya pada awal tahun 2000 gadis kecil itu menjalani operasi laser di Jakarta Eye Center. Saya ikut mengantarnya. Saat itu usianya baru delapan tahun, tapi dia sudah mengidap katarak — suatu hal yang menurut pengetahuan umum hanya menimpa orang tua.

Bagaimana dengan ruang kecil ber-TV jumbo, padahal anak-anak sering mendekat, apalagi jika main game? Pertanyaan serupa berlaku untuk penyetelan monitor komputer yang terlalu kontras dan menyilaukan. Monitor CRT menyita tempat, padahal mejanya sempit, sehingga memperdekat jarak dengan mata anak. Jika kursi tak ditinggikan, beberapa anak kecil menatap monitor dengan mendongak.

Di luar urusan peluang bisnis kacamata, mestinya Depkes dan Depdiknas punya data berapa jumlah anak Indonesia yang (mestinya) pakai kacamata. Uncle Pakde Totot mungkin bisa menggerakkan korpsnya di “bakal IndonesiAd(diction)Council” untuk bikin kampanye kesehatan mata anak. Atau barangkali Maverick Kidz punya ide?

Info:
+ Kesehatan mata
+ Ergonomi visual

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *