Blogombal di majalah Tempo 2006

Seseorang membagikan kepada saya pindaian majalah Tempo edisi 6 Agustus 2006, dari akun Flickr Satya Witoelar, putra dari Wimar Witoelar (1945—2021), tentang contoh blog Indonesia yang dihimpun oleh Budi Putra. Laman itu bagian dari laporan dalam rubrik Selingan yang bertajuk “Blog: Melebarnya Jendela Informasi”.

Tertulis di sana, pada kolom kedua dalam tabel, dengan pemerian cekak:

Silakan Tersenyum
bloGombol catatan ringan angin-anghan

Blog ini mengajarkan satu hal jika kita cermat dan sensitif, banyak hal lucu dan tak terduga yang bisa ditemukan setiap hari. Mungkin muncul di gerobak pemulung, iklan baris, atau dinding truk. Selain didukung foto-foto, posting blogger anonim ini ringkas, padat, dan memikat.

Demikianlah, saya saat itu masih si entah, anonim, belum kenal Budi Putra pula. Alamat blog saya saat itu masih di gombal.blogdrive.com, lalu tahun yang sama saya pindah ke domain sendiri, tema visualnya terwujudkan atas budi baik Didats Triadi, saat itu dia bekerja di Bali, karena saya tidak bisa koding, hanya bisa membuat tata letak ala media kertas.

Dengan Enda Nasution baru kenal Desember 2007 lalu sempat punya gawean bareng. Dengan Wicaksono Ndoro Kakung saya sudah lama kenal karena kami sejurusan di almamater, beda angkatan.

Kalau dengan Wimar Witoelar saya sudah kenal 1990-an. Saya pernah ke kantornya di Grand Wijaya, Jaksel, lalu bareng ke Indosiar di Jakbar, naik BMW-nya yang masih memakai CD changer. Ketika dia pindah kantor ke Duta Mas Fatmawati, Jaksel, akhir 1997, setelah dia menerbitkan majalah berbahasa Inggris dengan status perusahaan penerbit di Hong Kong supaya tak berurusan dengan SIUPP, saya bertandang, ngobrol banyak. Saat itu senja kala Orde Baru kian terasa.

Bloger, bahkan saya sebut sebagai bloger mula-mula sebelum ada platform blog, dan tak saya kenal secara pribadi adalah Peter Gontha. Dia bikin blog akhir 1990-an atau awal 2000-an. Isinya opini ekbis.

Lalu kenapa sebagian bloger yang dulu aktif kini berhenti? Saya punya teman, seorang pelancong sejak belia, bukan bloger, dan kini saya tak bertanya kenapa tak mengirim kartu pos bergambar lagi. Pertanyaan itu tak perlu karena dengan media sosial dan pelantar perpesanan maka gambar dari in situ terkirimkan dalam sekejap, autentik pula.

Setiap hal memiliki masa menggairahkan. Maka misalnya masih ada orang ngeblog mungkin itu penyimpangan. Dhemen kangèlan, kata wong Jawa. Namun bagi saya inilah cara memperlambat laju demensia, dan hasilnya terarsipkan pula.

Apakah saya ingat semua yang saya tulis sejak dulu? Tentu mustahil.

Dulu saya adalah si entah. Sekarang juga, setelah saya ngeblog lagi. Saya menduga banyak pembaca blog ini tak mengenal saya. Hal ini menyenangkan saya.

• Mengapa saya ngeblog lagi: Selalu ada alasan seseorang ngeblog lalu berhenti, ada pula yang memulai lagi dari nol setelah sekian tahun ngumpet. Termasuk saya.