
“Pengin? Kok nggak ngambil, cuma moto aja?” tanya pentraktir saya di warung soto. Dia melihat saya memotret poster dan sate brutu.
Saat memotret saya membatin kalau ada orang bikin guyon garing bahwa Julius Caesar nggak suka sate brutu mungkin malah ditanya, “Sampean ngomong apa sih?”
Hubungan Caesar dan Brutus agak rumit karena sang kaisar punya hubungan asmara dengan Servilia, ibunda dari Brutus — konon CLBK dari masa remaja. Adapun ihwal “Et tu, Brute?” yang terkenal itu tentu Anda sudah tahu.

Soal satai bin sate brutu ini adalah tulisan ketiga tentang sate dubur ayam di blog ini. Maka saya tak mengulang cerita kenapa dalam menu Resto Ngalam disebut teles ketep (2012), dan mengapa saya membayangkan sate kloaka runtuh kemewahannya gara-gara broiler (2015).

Yang pasti di warung soto itu saya tak mengambil sate tilis kitip karena sedang tak berminat. Mungkin karena tampilannya tak semenarik yang versi ngalam yang berbumbu kecap.


6 Comments
Dulu pernah dengar bahwa anak perempuan nggak boleh makan brutu. Nggak masalah, karena saya sukanya paha pentung 😀
Saya suka paha gebuk dan brutu. Kalo kepala ndak suka. Ceker? Kalo bagian dari masakan Cina saya suka.
Ojo seneng maem brutu, marakke gampang lali. Demikian kalimat yang sering saya dengar tatkala saya masih bocah. Saya enggak tahu kebenarannya.
Dalam satu ekor ayam cuma ada satu brutu. Empuk, gurih, diincar orang tua terutama bapak. Maka anak-anak ditakut-takuti makan brutu bikin pikun.
Kata guru SMP saya gitu.
Berarti maksude gampang lali karo wong tuwo, saking enake brutune😁
Waaaaa boleh jadi 😂