
Kaca jam dinding itu sudah buram. Namun posisi jarum jam sama dengan arloji saya dan jam pada ponsel. Artinya, jam dinding itu masih fungsional. Bagi siapa? Siapa pun yang ingin melihat jam, tak hanya pemilik warung kebutuhan dapur di pasar kampung itu.

Malam itu hujan masih mengguyur atap pasar. Karena bosan duduk di warung kopi, saya mondar-mandir. Pemilik warung hanya tertawa kecil saat saya menanyakan jam itu sejak kapan. Saya tak berani bertanya apakah dia takut jam itu hilang. Misalnya malam itu, tepatnya dini hari nanti, jam itu raib saya takut menjadi terduga pelaku.

Apa tadi, dini hari? Ya, pasar akan mengggeliat lagi setelah kalender bergeser. Banyak orang membeli untuk mengulak. Sebagian lagi adalah pemilik warung makan yang berjualan setiap pagi. Semuanya berlangsung rutin. Termasuk Pak Warung, yang mengemas ikan mungkin kembung dalam tatakan Styrofoam untuk dibalut plastik tipis gulung, di meja depan warung. Harga per kemasan tak sampai Rp10.000. Jarum terus bergerak. Tak pernah sekali pun Pak Warung menoleh ke jam dinding.

Dengan maupun tanpa melihat jam, irama tetap di Pasar Kecapi, Jatiwarna, Pondokmelati, Kobek, Jabar, itu tetap berjalan. Saya tak tahu apakah para pelanggan pasar itu peduli ada jam dinding berkaca kusam untuk ditengok, karena kalau mau, setiap orang bisa punya jam tangan murah. Misalnya enggan berlonceng tangan, ponsel juga menampilkan jam, dan penunjuk waktunya tak pernah kèthèr maupun mblandhang.

One Comment
Jam tembok ruang tamu saya (lumayan larang) rusak setelah sekitar 10 tahun. Saya beli baru. Pilih yang murah karena mas karyawan toko bilang, “Tumbas jam tembok niku kados tumbas lotre: sing larang dereng tentu sae.”
Ternyata sing mboten larang mblandhang😁, dan harus saya cocokkan setiap pekan🙈