
Artikel Markus Togar Wijaya di Kompas hari ini (Sabtu, 27/9/2025) menarik, sinis, namun mencerahkan: “Negara Ini Alergi Membaca”. Sebenarnya Markus, peneliti Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum UGM, tak membahas polisi. Dia menempatkan polisi sebagai representasi negara, dan hal itu diangkat sebagai pembuka tulisan.

Intro tulisan merujuk penangkapan Delpedro Marhaen, Direktur Eksekutif Lokataru Foundation (1/9/2025). Polisi, dalam opini Markus, membangun narasi bahwa buku tersangka yang mereka sita, antara lain karya Pramudya Ananta Toer dan bacaan tentang Marxisme “menjadi pemantik atau penghasut kerusuhan massa”.

Kita tahu pola pikir aparat itu adalah warisan Orde Baru yang menempatkan kebebasan berpikir dan belajar sebagai bahaya subversif. Pada masa Soeharto, yang kini masih dirindukan sebagian orang yang mendukung pelanggaran HAM, Kejagung menjadi penilai bacaan, yakni buku dan produk pers. Rezim jadi ketagihan melarang bacaan.
Dulu distributor media asing harus menghitamkan berita dan artikel media luar, misalnya majalah Time atau Newsweek dan koran International Herald Tribune jika Kejagung tak suka. Tetapi koran Le Monde yang dilanggani kantor saya tampaknya tidak. Kalau koran luar berbahasa Mandarin memang dilarang masuk.
Yah, begitulah. Lalu soal polisi, apakah mereka malas membaca, terutama polisi rendahan yang menghadapi demonstran, sehingga mereka diejek “rajin baca jadi pintar, malas baca jadi polisi”? Bagi saya tergantung orangnya.
Polisi membuka sekolah juga ada (¬ Tribrata News, 13/1/2025). Artinya mereka tak jauh bacaan, padahal mereka bukan perwira. Eh, tetapi apakah ini termasuk tugas polisi? Berat amat. Dulu banget, saat saya melaporkan suatu hal ke Ditreskrimum Polda Metro Jaya, bersama pejabat urusan legal perusahaan tempat saya bekerja, dalam kantor ada inang-inang menawarkan buku bajakan seputar hukum, terutama KUHAP. Artinya ada polisi membaca buku.

Bahkan di blog ini saya pernah membahas buku lama, terbitan 1951, untuk Sekolah Polisi di Sukabumi, berjudul Hidup atau Mati. Tentu kita tahu, banyak perwira menengah polisi membuat tesis, termasuk Ferdy Sambo, sehingga mereka pasti membaca buku. Kalau sekelas Tito Karnavian menulis disertasi di Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapura, tentang kelompok radikal dalam Konflik Poso.
Lalu kini apa persoalannya? Ejekan bahwa polisi rendahan itu malas membaca buku harus mereka lawan. Dengan membaca dan membaca. Memang dari ponsel dan tablet bisa namun selalu ada gangguan distraktif, disela oleh ini dan itu karena menggunakan alat komunikasi.
Saya tak tahu apakah dalam Reformasi Polri ada program penyediaan perpustakaan, setidaknya di tingkat Polres. Syukur kalau sampai tingkat polsek. Di markas Brimob mestinya juga ada. Akan lebih bagus jika dalam rekrutmen ada ujian di luar kesamaptaan, yakni literasi — bukan hanya dalam arti melek aksara.


