Di pekarangan belakang sebuah gedung saya lihat seutas tali tergantung. Mirip tali gantungan. Saya tak paham tali-temali, namun di mata saya cara membuat simpul tak serapi dalam gambar yang bertebaran di internet. Gambar tali gantungan sering menjadi simbol hukuman mati dan bunuh diri.
Saya belum pernah melihat orang mati setelah digantung maupun bunuh diri. Maka saya tak habis pikir kenapa hukuman gantung dulu dijadikan tontonan. Pada zaman Hindia Belanda, tontonan hukuman mati itu di Batavia diramaikan oleh pedagang (¬ Historia). Apakah di antara penonton ada anak-anak?
Saya hanya tahu tentang gantung diri dari mendengar. Pertama kali saya tahu, belum sekolah, ada nenek, tetangga, menggantung diri karena tak sanggup menahan beban kehidupan. Setelah menyuapkan bubur ke cucu bungsu dia ngendhat. Sekian bulan dia harus mengurusi beberapa cucu karena ayah dan ibu mereka ditahan militer dengan dugaan jadi anggota PKI.
Hukuman gantung tentu mengerikan. Saddam Hussein, bekas presiden Irak, digantung pada 2006, pas Iduladha, padahal sebagai prajurit dia menginginkan hukuman tembak mati.
Sejak kapan manusia mengenal hukuman gantung? Saya menduga ribuan tahun silam, sejak manusia mengenal pemanfaatan tali, dari bahan apa pun, mungkin termasuk akar dan kulit pohon yang masih apa adanya, untuk membunuh dengan menjerat leher. Pada abad ke-18 Inggris menerapkan metode long drop: terpidana akan langsung patah lehernya (¬ History Extra).
Barusan secara acak, saya mencari judul berita orang gantung diri. Ternyata dalam sepekan terakhir ada kejadian di beberapa tempat di Indonesia. Karena tak membaca isi berita, saya menduga mereka bunuh diri.
Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan, prevalensi depresi paling tinggi pada penduduk usia di atas 15 tahun ditemukan pada kelompok usia 15-24 tahun, yakni dua persen. Kemudian, diikuti kelompok usia lanjut 1,9 persen. Sementara kelompok usia dengan prevalensi terendah ialah 35-44 tahun, sebesar satu persen.
Di antara anak muda yang ditemukan hidup dengan depresi, sebanyak 61 persen memiliki pemikiran untuk mengakhiri hidup dalam satu bulan terakhir (¬ Kompas, 5 Juni 2024).
Saya tak berani langsung menghakimi pelaku bunuh diri sebagai orang kalah. Jiwa manusia tak selamanya tangguh. Masing-masing punya sisi kerapuhan jiwa. Tantangan dan beban setiap zaman berbeda. Daya tahan setiap orang terhadap setiap jenis masalah spesifik juga berlainan.
Ada dua orang yang saya kenal baik, pada masa mudanya gagal bunuh diri. Yang pertama masih usia kuliah, dia teman saya sejak SD, mencoba menamatkan hidupn karena putus cinta dengan ceweknya.
Yang kedua mencoba menyelesaikan perjalanan hidupnya, padahal sudah menjadi ayah dari sepasang anak balita, karena kemelut rumah tangga dan finansial. Saat saya jenguk di rumah sakit dia tampak malu. Para perawat mempercandakan upaya gagal itu. Cara kedua orang itu sama: minum cairan obat nyamuk.
¬ Infografik: berita Kompas, “Menyelisik Pencetus Bunuh Diri pada Anak Muda” (26/7/2024)
6 Comments
Setiap baca berita orang kendhat, selalu berusaha membayangkan apa yang telah mereka lalui hingga mengambil jalan tersebut T_T
Yah kita sering gagal memahami
Hal begini bikin saya bergidik. Yang jelas mereka perlu bantuan, tetapi seringnya mau minta bantuan profesional (psikolog atau psikiater) merasa malu atau tidak mampu, belum lagi soal cocok-cocokan dan komitmen jangka panjang. Punya teman yang bisa menemani, mau mendengarkan tanpa lantas berlagak memberikan nasihat sebagai solusi, menurut saya bisa banyak membantu. Apalagi kalau nasihatnya diawali dengan, kamu itu kurang beriman.
Saya pernah beridiskusi dengan orang HRD di perusahaan lama.
Intinya, kalo karyawan ke psikiater bisa minta reimburse, seperti halnya ke dermatologi yang disebut spesialis kulit dan kelamin. Apakah ke psikolog juga bisa minta?
Dulu di poliklinik perusahaan pakai dokter luar yang dikontrak, karena perusahaan gak punya karyawan yang dokter berizin praktik.
Mestinya hal sama bisa berlaku untuk psikolog atau konselor. Misalnya perusahaan merekrut psikolog, bukan sekadar sarjana psikologi, sebagai karyawan, hubungan dengan karyawan lain yang berkonsultasi adalah sebagai sejawat, bukan konselor dan konseli.
Orang HRD malah bingung.
Faktanya memang Kita nggak bisa ngapa2in terhadap Wong yg cupet dengan segala permasalahan yg mendasarinya itu selain bersedia menjadi kanca ngobrol buat semua orang. Kita bahkan nggak Tahu apa Dia Mau ngendhat atau tidak. Tak selalu problem ngendhat itu Dari kesusahan yg riil, ada beberapa case justru terkait idealisme dan kegiatan Ra Mutu lainnya.
Sebagaimana Kita hanya bagian Dari statistic saja. Permasalahan sosial akan selalu ada, menjadi bagian tak terpisahkan Dari masyarakat (Dan negara) dan beranak Pinak dengan Segala collateral damages Nya. Ketika suspect tsb sukses ngendhat ya tetap akan Jadi bagian Dari statistic.
Terdengar tak berhati? Ya suatu saat Kita juga akan Sampai dipenghujung perjalanan, orang milih shortcut itu mungkin Dia sudah Sampai pada pertimbangan tertentu Dari egonya. Tak banyak yg bisa dilakukan Dari ego itu. Terlalu Dalam untuk dikulik kembalo, mindset Dan pola didik.
Yah begitulah. Jangankan terhadap orang lain, terhadap diri sendiri pun kita sering tak sepenuhnya paham.