
Faiz Sais datang dengan wajah lebih tua. Kumis dan jenggotnya tinggal beberapa helai yang masih hitam. Rambutnya menipis, putih semua. Sudah delapan tahun dia dan Kamso tak bersua.
Singkat kata, Faiz ingin meminjam buku. Sekaligus 20 buku. Dia berjanji akan mengembalikan secara bertahap. Bahkan sudah berpesan kepada dua anaknya, laki dan perempuan yang sudah berkeluarga, buku pinjaman yang dia tempeli Post-it itu nanti saat dirinya mati harus dikembalikan kepada para pemiliknya, termasuk Kamso.
“Aku balik ke kertas. Buku makin nggak kejangkau, makanya aku minjem, termasuk ke sampean, Kam,” kata Faiz.
“Aku sejak jadi pengangguran juga nggak pernah beli buku, Mas. Buku bekas juga mahal. Tapi mau beli buku bajakan nggak tega,” sahur Kamso.
Singkat cerita, bagi Faiz membaca buku itu aman dari gangguan istri. Dulu zaman koran dan majalah berjaya, karena Faiz sering ditawari oleh loper, apalagi hari libur dan akhir pekan, dia beli bermacam media karena gajinya cukup.
“Kalo aku asyik baca nggak diganggu bojoku. Aku bisa baca di depan TV memenin dia nonton juga dibiarin,” katanya.
Kamso terus menyimak. Faiz terus bercerita.
“Sekarang aku baca konten pake laptop lagi, baterainya bapuk, aku colokin terus. Nggak diganggu bojo. Tapi kalo baca di tablet pasti diganggu, apalagi di hape.”
“Diganggu gimana sih, Mas?” Kamso bertanya.
“Diajak ngobrol terus. Dia ngomong sambil liat hape, isinya video, dari gosip seleb, komedi singkat netijen, potongan obrolan politik, sampe masakan, termasuk yang kulineran.”
“Oh gitu…”
“Dia tuh bisa seharian pegang hape liat video. Ya duduk nyender, selonjor, rebahan di sofa, selalu liat hape. Di kamar apa lagi, kalo udah selimutan soalnya dia suka AC dingin, sampe ketiduran tuh video terus ngalir. Lama-lama kupingku kebal. Pernah aku niru dia tapi pake earphone, eh dimarahin, soalnya aku jadi nggak denger hape dia, nggak bisa diajak ngobrol.”
“Mas yakin kalo baca buku nanti nggak diusik?”
“Orang kan harus berani nyoba, Kam? Masa di sisa hidupku aku nggak ngusahain punya me time?”

7 Comments
Dahulu saya baca serial Hercule Poirot di novel, sekarang di televisi berbayar kanal Hits.
Dulu sebelum pertengahan 1998 saya punya banyak buku (buku tentang ilmu komunikasi dan tentang pers, novel, buku sejarah, kamus dll.), sekarang tak punya buku apa-apa — kecuali buku tulis untuk nyateti urusan warung makan istri saya.
Eh, bien, kata Poirot.
Yang penting ngeblog lagi kalau mau 😂
Sudah bikin satu konten, enggak kelar2😁🙈
Saya tidak pernah diganggu kalau sedang membaca atau menulis di laptop atau di HP. Tetapi saya diganggu, baik dengan teguran atau sindiran, kalau saya sedang rebahan.
Sebenarnya keliatan kok, orang lagi baca, nulis, main game, chatting, atau lainnya. Tapi bagi orang lain itu semua adalah “pokoknya mainan hape”.
Di laptop dan desktop, juga tablet besar, aneka kegiatan itu lebih menampak.
Lama-lama kayaknya buku jadi kayak piringan hitam, Paman. Barang koleksi. Hahaha.
Sudah mulai kok. Bagaimanapun Spotify dan Apple Music, juga Google Music, lebih kaya 😇