Warung makan Selera, Sederhana, Sudi Mampir, dst…

Kini mungkin tak ada warung makan baru dengan nama generik.

▒ Lama baca < 1 menit

Warung makan Selera, Jalan Pasar Kecapi, Pondokmelati, Kobek, Jabar — Blogombal.com

Dulu, abad lalu, saya penasaran kenapa banyak warung makan, yang kadang disebut warung nasi, menggunakan jenama Selera, Sederhana, Sudi Mampir, Miroso, dan entah apa lagi yang terkesan generik. Setidaknya ada unsur kata-kata itu. Misalnya Pondok Selera.

Karena mereka tak kreatif dan inferior, kata kangmas saya. Waktu itu saya belum tahu bahwa di Jakarta ada restoran Minang bernama Sederhana. Ya, mereka menggunakan atribut restoran, bukan rumah makan, dan harganya pun melebihi warung makan.

Tadi ketika saya berjalan senja melihat ada warung bernama Selera, di Jalan Pasar Kecapi, Pondokmelati, Kobek, Jabar. Bagi saya itu nama yang mencitrakan kesan tua, jadul, bersahaja, dan murah. Apalagi jika melihat tampilan warung yang tak beda dari warteg.

Maka medio 1990-an ketika saya mengudap di warung kecil murah bersahaja di sebuah lingkungan pasar, di Purwokerto, Jateng, namun saya lupa namanya, saya heran karena dalam bon tunai ada pajak restoran 10%. Saya kadung beranggapan warung macam itu tak dijangkau pajak pembangunan daerah — ini istilah lama.

Warung makan sekarang, milik generasi X, milenial, dan Z, termasuk yang hanya melayani pesan antar via aplikasi ponsel, tak ada yang menggunakan merek generik. Apakah Anda ingat nama generik selain yang tadi saya sebut?

Warung makan Selera, Jalan Pasar Kecapi, Pondokmelati, Kobek, Jabar — Blogombal.com

4 Comments

Ndik Kamis 12 Juni 2025 ~ 19.15 Reply

Nama nama yg cenderung membawa Kita ke nostalgia sebuah warung Makan Jawa Khas pinggir Jalan. Yg tercetak di kepala saya dengan warung itu Adalah pecel Dengan terik ati

Di tempat kelahiran saya ada 4 warung modelan seperti Ini yg tutup, biasanya terkena pelebaran Jalan, ganti generasi (Dan gagal regenerasi tukang masak atau resep), regenerasi pembeli (yg tak lagi berselera dengan masakan ndeso, Lebih kemlinthi Karena econominya Lebih Baik Dan Suasana warung seperti itu yg blas nggak ada coZynya Dan dengan bangku Panjang yg memaksa sharing bangku dengan pembeli lain yg Kita gak kenal) atau ya kemarin Gara Gara COVID.

Sebut saja warung di tapal batas jambearum, di perempatan pegandon, Dan budijaya cepiring (Ini kayaknya sudah revival). Agak jauh sedikit warung ijo di dekat bunderan sukorejo yg Dulu Khas dengan soto Dan brongkosnya.

Untunglah Masih ada yg bertahan. Entahlah Kita harus belajar bagaimana mereka yg bertahan beradaptasi, atau belajar berkorban (ya Ini matengan, kalaupun dihangatkan saja tentu beberapa Kali saja sebelum merubah rasa. Pada titik itu ya dibuang entah Jadi pakan bebek, lele atau apa)

Ketika belajar merantau, tips untuk mencari warung serupa yg bisa Kita temui Adalah dengan patokan banyak truk parkir Dan Makan situ.

Terkadang Ini Salah memahaminya, warung seperti itu memang tidak bisa dibilang murah juga, tapi biasanya masakannya enak, friendly di lidah serasa membuka buku kesayangan di rak dan membacanya kembali. Kalau Mau nyari murah di warung itu ya jangan kalap terhadap lauk saja. Sederhananya ono Rego ono rupo, Coba memahami Dari perpektif daging Dan iwak2an itu Mahal, bumbu dapur Mahal, Dan gas lpg nggak gampang juga

Pemilik Blog Kamis 12 Juni 2025 ~ 21.30 Reply

Terik ati? Kayaknya menggoda juga.

Betul, sebagian warung mati karena regenerasi gagal.
Tentu di konsumen ada perubahan selera.
Anak saya menyebut Resto Ngalam isinya selera orang tua 😂
Anak sekarang maunya yang pedas sampai rasa asli bahan hilang.

Dulu pernah, saya dan istri ke kedai kopi yang tenang, anak-anak ke kedai yang menurut kami bising, musiknya terlalu kencang.

Junianto Kamis 12 Juni 2025 ~ 13.32 Reply

Di Solo ada Dhahar Eco.

Tinggalkan Balasan