Ternyata di warung kopi dekat JPO JORR Jatiwarna, Kobek, Jabar, itu sebelum pukul delapan pagi belasan kurir paket pada nongkrong. Sepeda motor mereka sudah dipenuhi beraneka ukuran barang kiriman.
Foto ini saya jepret sehari sebelum Hari Buruh. Sempat tebersit niat untuk mengeposkannya pas 1 Mei kemarin, namun apa daya saya punya sekian urusan.
Saya tak tahu dalam sehari seorang kurir rata-rata menempuh berapa kilometer. Misalnya mereka hanya ngider di Kecamatan Pondokmelati, Kobek, yang luasnya 11 km², dua kali ngider pun belum tentu cukup waktu. Kadang malam hari pun mereka masih mengantarkan paket.
Tak semua pengedropan paket itu lancar jaya. Dari sisi rute, kurir tak selalu melalui jalan lebar nan sepi, sering kali harus menyusup ke dalam labirin perkampungan padat yang sulit bagi motor untuk berpapasan.
Setelah kurir tiba di depan pintu tujuan, belum tentu urusan beres dalam 15 detik. Seruan “Paketttt!” belum tentu langsung membuat penghuni rumah nongol, karena bisa saja dia sedang mandi atau malah sedang pergi. Juga: tak setiap rumah punya bel.
Belum lagi kalau pemesan barang belanja daring itu memilih COD (cash on delivery). Sering kali kurir harus menunggu lama. Kalaupun kurir akhirnya meninggalkan rumah itu, nanti harus kembali lagi.
Saya kurang sreg terhadap COD karena merepotkan kurir. Bukankah pembayaran tanpa via ponsel dan komputer bisa dilakukan di Indomaret dan Alfamart?
Soal waktu, ada juga masalah menyangkut penyortiran barang dari kantong paket pada motor kurir. Makin kecil barang bisa makin lama karena terselip dalam jejalan. Untung ada barcode yang memudahkan pembacaan nama dan alamat yang teksnya kecil, serta aplikasi berbasis GPS, dan metode mengurutkan alamat kirim.
Tak banyak yang kita ketahui tentang dunia kurir, kecuali teman atau saudara kita ada yang bekerja di sektor logistik. Bagaimana kesejahteraan mereka? Project Multatuli pada 2021 pernah membuat serial laporan Sekrup Kecil pada 2021 seputar kurir dan ojek daring.
Selintas sering kita jumpai iklan lowongan kurir mensyaratkan pelamar memiliki motor sendiri. Kenapa? Posisi mereka adalah mitra, bukan pegawai, dengan jam kerja bisa 18 jam sehari (Kompas.id, 2023), padahal aturan ketenagakerjaan mensyaratkan jam kerja maksimum delapan jam sehari, dengan lembur paling pol empat jam per minggu.
Laporan tersebut mengutip Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal:
“Apabila ada warga yang direkrut jadi kurir saat momen tertentu, seperti Lebaran yang selalu ada lonjakan permintaan pengantaran, mereka harus tetap diikutkan dalam regulasi ketenagakerjaan. Mereka wajib dipekerjakan 7 jam 6 hari kerja atau 8 jam 5 hari kerja.”
Jadi bagaimana sebenarnya kesejahteraan para kurir? Sejumlah media sudah membedahnya. Lalu kenapa saya tak menanya para kurir yang ngopi pagi sambil meriung itu?
Blog ini bukan produk jurnalistik. Maaf kalau jawaban ini tak memuaskan Anda karena seperti jawaban turistik, hanya melihat lalu menyimpulkan tanpa menggali.
Di sisi lain tak semua media berita melakukan pendalaman dalam memberitakan dunia kurir, apalagi dengan jurnalisme data, bahkan sebagai buruh nasib pekerjanya tak cerah. Berita PHK pekerja media akan terus muncul. Lihat saja.
2 Comments
Catatan yang mendorong pembaca merenung tentang kerumitan dalam kesederhanaan cerita. Tabik, Paman.
Halo Cak! Apa kabar?
Suwun sudah berkunjung. 🙏
Banyak kerumitan jika menyangkut kesejahteraan rakyat