Jadi, persoalan roda dan ban cadangan angkot itu apa?

Negara dan birokrat harus bangga bahagia jika punya warga kelas menengah rewel.

▒ Lama baca < 1 menit

Roda dan ban cadangan yang merepotkan penumpang angkot — Blogombal.com

Malam hampir pukul tujuh saya naik angkot CH untuk jarak dekat karena sudah kecapaian berjalan dari toko sejauh 1,6 kilometer dari rumah. Penumpangnya tak penuh namun mereka tampak kerepotan saat duduk maupun berdiri membungkuk lalu berjalan saat akan turun maupun naik angkot kecil itu.

Mereka direpoti roda dan ban cadangan yang ditaruh di atas lantai ruang penumpang. Memang, kalau bukan ditaruh di ruang kokpit, roda cadangan ditaruh di kabin.

Mengapa begitu, karena memasang kembali roda di kolong mobil itu merepotkan. Maka tempo hari saya tulis ada angkot yang memasang tangga di belakang luar mobil untuk dudukan roda, seperti konde pada jip dan SUV generasi lampau.

Kenapa disbub tak mewajibkan angkot memasang dudukan roda? Kalau dituruti, nanti angkot kecil memasang rak di atas seperti bus zaman dahulu. Setidaknya memasang boks atap ala Thule seperti di Bogor, Jabar.

Roda dan ban cadangan yang merepotkan penumpang angkot — Blogombal.com

Lagi pula buat apa mewajibkan tangga roda ban, bukankah penggantiannya tak saban hari? Ada yang bilang, akar masalah karena ketiadaan standar pelayanan minimum angkot.

Benarkah? Sebenarnya sudah ada Permenhub No. 98 Tahun 2013 tentang Standar Pelayanan Minimal Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam Trayek. Memang sih, soal di mana menaruh roda ban cadangan tak disebut.

Bayangkan, sudah berapa lama kita mengenal angkot, namun aturan baru muncul 2013. Soal pelaksanaan dan pengawasan, kita semua tahulah, ini Republik Nd**mu. Tampang sekelas wong Boyolali yang pernah dihina pemimpin partai boleh jadi tak layak menuntut lebih, dikasih angkot saja harus bersyukur.

Padahal dalam beberapa kasus, angkot sebagai transportasi publik muncul karena inisiatif publik, lalu negara tinggal mengesahkan. Perjalanan waktu membuat negara mau belajar namun hasilnya belum maksimal.

Murah kok mau nyaman dan aman. Sebagai gurauan sopir dan kernet mungkin apa boleh buat. Tetapi jika negara berprinsip demikian, hal itu sungguh menyedihkan. Artinya cara berpikir birokrat dan awak angkutan umum sebagai korban perbudakan modern itu sama.

Roda dan ban cadangan yang merepotkan penumpang angkot — Blogombal.com

Lalu apa yang bisa membantu memperbaiki? Kerewelan masyarakat. Melalui pertumbuhan kelas menengah. Generasi bapak ibu mereka, bahkan kakek neneknya, tawakal mengejar bus kota, duduk di dekat pintu angkot menghadap keluar, dst…

Ekonom Universitas Indonesia Muhamad Chatib “Dede” Basri lebih dari sekali membahas tuntutan kelas menengah terhadap mutu pelayanan publik. Misalnya yang dia sentil dalam Kompas, 24 Juli 2024 (“Kelas Menengah: dari Zona Nyaman ke Zona Makan”).

Ekonom yang menulis ciamik, suka sastra dan teater, itu juga pernah menyinggung hal serupa dalam artikel lain di Kompas (“Keadilan yang Terusik dan Pembangunan Ekonomi”, 20/10/2023), dan menambahkan catatan melalui Instagram.

View this post on Instagram

A post shared by Chatib Basri (@chatibbasri)

2 Comments

mpokb Minggu 27 April 2025 ~ 22.31 Reply

Anu… Negara kadung milik oligarki, Bang Paman. Kalau angkutan umum bagus, nanti ojol nggak laku dong.. Terus banyak yg kehilangan mata pencarian deh *mbulet

Pemilik Blog Minggu 27 April 2025 ~ 23.57 Reply

Kasus ojek, yang biasa maupun online, itu sama dengan angkot kecil. Diupayalan oleh warga karena negara tak menyediakan angkutan.

Dulu di kawasan saya ada angkutan Kodau, ke Pasar Pondokgede, berpelat hitam. Sebelum ada CH dari kompleks saya ke Cililitan juga pelat hitam. Lalu MKGR menjadi penaung.

Tinggalkan Balasan