Dalang belia yang dagunya diplester

Regenerasi dalang wayang kulit masih berlangsung. Dalang cilik down syndrome pun ada.

▒ Lama baca 2 menit

Ujian dalang cilik - Kompas — Blogombal.com

Di tengah hiruk pikuk berita ekonomi, politik, korupsi, dan kriminalitas lain, termasuk pelecehan seksual oleh dokter, yang merusak suasana hati, ada satu foto berita yang menarik. Dalam koran Kompas (Rabu, 16/4/2025). Galeri fotonya di laman ini.

Judul foto itu “Uji Kompetensi Keahlian SMK Jurusan Seni Pedalangan”. Kapsinya:

Raka Wersniwira Purnomo Aji mementaskan wayang kulit dengan lakon Ampak-ampak Pringgodani saat mengikuti Uji Kompetensi Keahlian (UKK) Jurusan Seni Pedalangan di SMK Negeri 1 Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (15/4/2025). Raka tampil dengan plester di dagu dan nyaris tidak dapat mengikuti ujian itu karena mengalami kecelakaan lalu lintas beberapa hari sebelumnya. UKK Seni Pedalangan di sekolah itu dilaksanakan dalam wujud pergelaran wayang kulit yang berlangsung selama dua hari dan diikuti oleh 13 dalang remaja peserta ujian tersebut.

Ujian dalang cilik - Kompas — Blogombal.com

Menarik, regenerasi dalang masih berlangsung. Bahkan ada dalang cilik down syndrome dari Yogya, Rafael Kusuma Atma Wibowo (¬ Kompas.com, 2024)

Menjadi dalang itu butuh stamina tangguh. Demikian pula menjadi nayaga dan pesinden. Mereka tidak duduk di atas kursi tatami yang ada sandaran punggungnya. Untuk pesinden, bertimpuh dengan diganjal dingklik. Untuk berdiri setelah bertimpuh bukan hal mudah, apalagi berkain jarik.

Dalang cilik down syndrome - Kompas — Blogombal.com

Paling berat tugasnya adalah dalang. Harus hafal cerita berikut nama tokoh, siap berimprovisasi, luwes bermain vokal sesuai karakter yang beragam, dan menggerakkan wayang. Saya tak tahu sebelum ada mikrofon dan sepiker bagaimana dalang harus bertutur lisan. Apakah semua penonton mendengar, padahal akustik ruang belum tentu mendukung?

Tentang wayang kulit, dari YouTube kita tahu bahwa banyak orang menonton dari belakang punggung dalang. Wayang tampak apa adanya, berwarna dengan detail, bukan sebagai bayangan. Dari belakang dalang, penonton juga bisa menatap wajah deretan pesinden.

Likuran tahun lalu, di Surabaya, Jatim, saya memotret dalang dari celah di antara batang pisang dan bagian bawah layar, dari balik layar yang menghadap dalang. Saat itu tak ada seorang pun yang menonton dari balik layar.

Tetapi dalam Festival Dalang Wanita di Solo, Jateng (1996), saya tak berani mengulangi karena belum minta izin panitia. Apalagi sisi belakang layar di TBS juga ada penontonnya. Mau minta izin Mas Moertidjono, melalui seorang juri, saya sungkan karena tak terlalu kenal, hanya malam sebelumnya kami ngobrol sampai dini hari sambil wedangan.

Silakan menanggap dalang milenial — Blogombal.com

Saya tak tahu berapa sekarang biaya termurah untuk menanggap wayang kulit. Zaman dulu tanggapan wayang secara pribadi bisa di dalam rumah, bukan halaman, karena orang yang brèwu atau sugih memiliki rumah besar dengan pendapa.

Nah, bagian di antara pendapa dan rumah induk disebut pringgitan, dari kata paringgitan, dengan kata dasar ringgit. Ini bukan soal uang, karena ringgit berarti wayang. Pringgitan untuk menggelar pertunjukan wayang kulit.

Di samping rumah induk ada bangunan samping atau paviliun, sebutannya adalah gandhok. Ada gandhok kiwa (kiri) dan tengen (kanan), ada pula gandhok wétan (timur) dan kulon (barat).

2 Comments

Junianto Jumat 18 April 2025 ~ 11.57 Reply

Anak lanang Rhoma Irama, dari istri yang tinggal di Solo, Gita Andini Saputri, doeloe juga dikenal sebagai dalang cilik : Adam Ghifari. September 2024 Adam memperoleh gelar Sarjana Psikologi dari UMS. Setahu saya, dia masih mendalang.
https://news.ums.ac.id/id/09/2024/rhoma-irama-hadiri-wisuda-putranya-di-ums-lagu-keramat-gemakan-edutorium/

Pemilik Blog Minggu 20 April 2025 ~ 21.56 Reply

Oh baru tahu saya 🙏💐

Maksud saya baru tahu kalau putranya yang itu seorang dalang

Tinggalkan Balasan