Spanduk rumah mangkrak di jalan buntu sebuah kompleks ini jelas, menjual tanah dan bangunan. Memang, misalnya kondisi bangunan lebih parah daripada gambar ini, banyak peminat hanya mengutamakan membeli tanahnya saja. Bangunan tidak dihitung.
Tetapi makin kokoh bangunan, meskipun ibarat kata tak dihitung, akan membuat peminat mengalkulasi biaya bongkar. Setidaknya menaksir biaya renovasi.
Kalau pemilik hanya menyebut menjual tanah mungkin pembeli menganggap rumah boleh diabaikan, atau peminat malah khawatir akan terjadi sengketa dengan debat kusir karena hanya berhak atas tanah.
Adakah orang yang hanya menjual rumah? Tentu ada. Itu berlaku untuk rumah-rumah anyar rakitan maupun rumah lawas berbahan kayu, misalnya rumah Kudus dan pendapa tua. Rumah lawasan dibeli untuk dicabut dan dipindahkan ke tempat lain. Rumah Kudus kuno milik Bentara Budaya (Kompas Gramedia), di Palmerah, Jakpus, sejak 1980-an, adalah salah satu contoh. Adapun rumah rakitan baru, antara lain dijual di Tokopedia. Bentuk terkecil dan termurah adalah gazebo.
Lalu mengapa banyak spanduk menyebutnya “rumah dijual”? Mengikuti yang lazim: menggunakan kalimat pasif, lagi pula lebih ringkas. Mungkin juga dianggap pas sebagai padanan bahasa Inggris: “(house) for sale“. Memang sih ada yang berkalimat lain. Termasuk yang agak aneh: “ada rumah dijual“, padahal yang dimaksudkan adalah rumah itu. Ada pula “harus terjual!“, entah siapa yang mewajibkan.
2 Comments
Di tembok rumahnya tercantum callsign organisasi radio amatir yang bisa dilacak dengan mudah nama pemiliknya.
Pemasang papan callsign belum tentu pemilik rumah, sih, bisa jadi pemasangnya adalah seseorang yang pernah menyewa rumah tersebut.
Kayaknya sudah lama call sign tersebut. Dulu ada bbrp antena di kawasan saya, malah pernah ada yang saya blogkan.