Billy Cokrotulung uring-uringan, keluarga mertuanya berkunjung ke sebuah rumah di Solo.
“Mereka hari ini masih kagum sama orang satu itu, sehingga merasa wajib sowan waktu liburan ke sana,” keluhnya.
“Lha mbok wis bèn. Apa kamu dirugikan? Kalo ya dalam hal apa?” kata Kamso.
“Sebel aja, Mas!”
“Lho daripada orang-orang pada selfie bareng patung lilin, mbayar pula, kan mendingan sama orang yang hidup, bisa salaman.”
“Kalo nyangkut keluarga mertuaku, termasuk istriku, aku prihatin soalnya mereka nggak merasa ditipu orang itu. Jadinya ya konsisten ngefan sama orang itu.”
“Suka atau nggak suka sama seseorang itu hak asasi setiap warga. Kalo kamu orang demokrat, hargailah pilihan orang lain, Bill.”
Billy hanya melenguh. Wajahnya seperti lap kanebo kering.
“Mereka juga kagum sama anaknya orang itu?” tanya Kamso.
“Nah, ini anehnya! Ternyata nggak! Terutama istriku,” sahut Billy, dengan wajah mulai berangsur normal.
Kamso terbahak-bahak. Billy terus meracau.
Lantas Kamso mulai sok bijaksini, “Sejarah setiap masyarakat, setiap bangsa, selalu memiliki keanehan. Kayak anomali. Ada saja pemimpin dan bekas pemimpin yang tetap dipuja padahal nggak layak. Dalam skala lebih kecil, ada bekas wali kota, pernah jadi napi koruptor, yang mau nyalon lagi di pilkada, untungnya nggak dapat dukungan. Ada koruptor yang ikut pemilihan DPD lagi dan sialnya ada yang milih.”
“Hmmhhhh…,” Billy mendengus.
Lalu dia melanjutkan, “Kalo mau belajar sejarah mestinya ke keraton atau Mangkunegaran, Mas!”
“Ini menarik lho, orangnya masih hidup kok rumahnya dikunjungi. Biasanya petilasan itu didatangi setelah orangnya meninggal, Bill.”
“Huh!”
“Udahlah, nggak usah dipikir. Cuma soal wisata aja kok. Soal opsi, mau ke Solo Safari yang mbayar atau ke rumah orang itu yang gratis kan urusan selera.”
“Tapi yang ke Safari lebih edukatif untuk anak cucu, Mas!”
¬ Ilustrasi: Solo Safari
2 Comments
(((((Orang itu!!!!!!!!)))))
Lha siapa to? Njenengan kenal, Lik?