Ngobrol dengan sopir angkot selama perjalanan

Mobil kecil angkot masih bertahan. Padahal penumpang menyusut. Mereka bagian dari ekonomi rakyat.

▒ Lama baca 2 menit

Sopir angkot CH KWK T10 Chandra - Cililitan — Blogombal.com

Topik anak sekolah naik sepeda motor, sehingga angkot kekurangan penumpang adalah perbincangan usang. Para sopir sudah tak tertarik membahasnya. Itulah kesan yang saya petik dua pekan belakangan saat saya lima kali naik angkot CH KWK T10 jarak dekat, sekitar 1,2 kilometer. Ongkosnya Rp4.000.

Sopir angkot CH KWK T10 Chandra - Cililitan — Blogombal.com

Angkot tengu dengan mikrobus lawas ini bertrayek Chandra (Pondokmelati, Kobek) — Cililitan (Jaktim) sejauh 15 kilometer. Sebagian pengemudinya adalah pemilik. Anak-anak mereka juga bersekolah naik motor. Angkot yang saya naiki, dengan jok kempis, tak pernah penuh, dari lima kali naik itu tiga kali hanya penumpangnya. Namun foto yang selamat hanya dari dua kali naik angkot.

Sopir angkot CH KWK T10 Chandra - Cililitan — Blogombal.com

Saya senang jika naik angkot duduk di depan. Pemandangannya lebih luas. Bahkan dulu banget, kalau naik taksi saya duduk di depan, kaki bisa selonjor. Naik angkot duduk di depan bisa mengobrol dengan sopir. Keluhan mereka saat ini adalah galian di tengah Jalan Raya Pondokgede, pada beberapa ruas, misalnya Lubang Buaya. Bikin macet.

angkot CH KWK T10 Chandra - Cililitan — Blogombal.com

Tersebab kemacetan, kalau sehari sopir bisa empat rit kini cuma tiga rit. Bensin lebih boros. Penumpang yang tak ingin telat di kantor memilih naik ojek, turun di halte Transjakarta Pinangranti, agak dekat TMII, Jaktim. Pegawai yang biasanya berangkat setengah tujuh, kalau harus naik angkot, sekarang berangkat sebelum pukul lima pagi karena kemacetan tadi.

Keluhan lain ya seputar ekonomi. Para istri mengeluh semua harga mahal, padahal Ramadan belum mulai. Saat elpiji melon sulit diperoleh, mereka juga mengalami.

Tentu ada keluhan selain harga kebutuhan dapur. Kalau nada jawaban mereka saya seragamkan, kira-kira berbunyi, “Terserah pemerintah, dah. Kita cuma rakyat, bisa apa?”

Ada nada kesal namun tanpa amarah mendidih. Mereka menjalani hari dengan aneka masalah secara tabah. Ramadan nanti anak-anak TK dan SD libur. Jumlah penumpang, yakni anak dan pengantarnya, akan berkurang.

Siang kemarin, angkot kelima yang saya naiki, yang sopirnya menaikkan kaus, mengantarkan saya, satu-satunya penumpang tersisa, hingga pangkalan. Di pangkalan Bang Sopir ketemu dua sopir lain yang kongko. “Ayoh, ikut gue makan. Ditunggu si Anu,” anaknya.

Tadi, 500 meter sebelum pangkalan, dari dalam sebuah warung nasi sederhana terdengar teriakan, “Hoiii sini dulu, dari tadi gue tunggu.” Bang Sopir menyahut, “Entar dulu, gue nganter sampe pangkalan.”

Mereka buruh sopir. Bukan pemilik mobil. Tak seperti pengemudi dalam foto pertama. Buruh sopir membeli rokok ketengan dalam perjalanan. Kadang cuma sebatang. Setiap kali bersua teman mereka bercanda.

Tinggalkan Balasan