Pagi ini gerimis terus. Tetapi bagi Mbakyu Sayur kendala harus diakrabi dengan berpayung. Maka dia dorong gerobaknya dengan meneriakkan, “Sayurrrrrrrr! Sayur!”
Sebuah payung besar tertancap pada gerobaknya, diikatkan pada tiang pendek. Itu pun masih kurang. Dia juga mengenakan caping payung, agar saat bergeser memilihkan dagangan untuk pembeli yang tak berani berbasah-basah karena tidak ingin kepalanya tersiram gerimis.
Penjual sayur dengan gerobak bukan hanya dia. Di kompleks saya ada beberapa. Di area Anda juga, bukan? Cara mereka menyiasati hujan pun sama. Dengan payung. Itu temuan sederhana umat manusia sejak ribuan tahun lalu. Ada juga cara simpel di perdesaan dulu, saat payung masih mahal: memanfaatkan daun pisang utuh yang bertangkai. Sampai tahun 1980-an saya masih melihat itu.
Lalu bagaimana jika gerimis pagi ini nanti membesar sebagai guyuran hujan? Semua pedagang keliling punya jas hujan. Kini bahan plastiknya lebih ringan. Saat mentari menyengat, payung juga dipakai, demikian pula caping payung.
Apa yang saya ceritakan ini adalah hal biasa dalam musim hujan. Tetapi apakah anak-anak dan cucu Anda memperhatikan hal biasa ini, bukan dari foto dan video pada layar gawai? Saya tak tahu apakah semua guru SD pernah bertanya dalam kelas, “Anak-anak, apa saja yang kalian lihat di jalan saat hujan?”