Terlalu banyak hal tidak penting yang kamu pikirkan, katamu; juga kata yang lain, terhadapku. Tampaknya benar. Tetapi aku tidak bisa mengerem lamunan bahkan permenungan.
Ingatan akan penilaian orang muncul saat aku memeriksa foto-foto jepretan ponsel. Alasan memotret kanopi sempit pada sebuah tembok tak berlubang itu muncul begitu saja. Karena aku terkesan. Ada yang menyebut aku kurang pekerjaan: sering memotret sesuatu yang tak penting. Barangkali itu benar.
Setelah memotret, aku terus berjalan, sambil mengingat-ingat apa saja yang pernah aku lihat di titik itu. Kemudian lamunanku terinterupsi entah apa, aku lupa, dan selesai begitu saja.
Kini, apa serpihan ingatanku tentang titik kanopi di pertigaan itu? Tak semua aku ingat. Sempat mencuat dugaan apakah kanopi itu untuk AC model lama yang harus melubangi tembok serupa jendela? Rasa-rasanya tidak. Oh, mungkin untuk ventilasi berjalusi kaca. Entahlah.
Namun aku ingat, di situ dulu beberapa tukang ojek mangkal, sebagian dengan sepeda motor lawas tanpa pelat nomor. Sekira delapan tahun silam mereka habis, terdepak oleh ojek daring.
Dulu, sebelum mereka punah, pelanggan mereka adalah ibu-ibu dan anak sekolah. Sebagian anak sekolah itu adalah cucu dari para ibu yang belum pensiun. Setelah tukang ojek lenyap, ibu-ibu itu pensiun. Putra-putri dari para ibu itu sejak sekolah punya motor sendiri, lalu setelah bekerja dan masih tinggal bersama orangtua, mereka punya mobil.
Apakah para ayah atau suami dari ibu-ibu tadi tak pernah naik ojek? Mereka bisa naik motor maupun menyetir mobil. Ibu-ibu generasi pertama di blok itu setahuku tak ada yang mengendarai motor maupun mengemudikan mobil.
Belum tentu ingatanku benar. Oh, aku ingat, pernah memotret salah seorang tukang ojek di sana sedang membaca koran pada 2014. Lokasi dinding yang ada kanopinya dalam foto hitam putih, di atas paragraf pertama pos ini, adalah latar belakang foto tukang ojek yang ada di bawah.
Posisi tukang ojek menunggu penumpang di pertigaan itu sesuai posisi bayangan dari bangunan, akibat posisi Matahari saat mengelilingi Bumi, menurut penghuni bumi. Bukan Matahari tak mengitari Bumi? Yang pasti para tukang ojek butuh tempat berteduh. Itu sebabnya mereka selalu bergeser. Jika perlu menyeberangi jalan untuk berpindah titik teduh.
Hmmm… pada 2014 itu sudah ada ojek daring dalam sebuah platform, hanya saja penetrasinya belum meluas dan mendalam. Namun orang bisa memesan ojek pangkalan dengan menelepon atau kirim SMS.
Juga pada 2014 kepemilikan Android belum merata, artinya dengan ponsel biasa orang hanya bisa ber-SMS dan main gim.
Pun pada 2014 koran masih lumrah. Tukang ojek pun sudi merogoh uang demi berita. Oh, di Yogyakarta dulu saat aku kuliah pernah melihat tukang becak berkacamata, duduk di atas jok, membaca koran Kedaulatan Rakyat. Tukang becak lain umumnya berdiri di depan papan tempel koran gratis.
Namun ada satu hal yang tak dapat kuingat: ongkos ojek untuk jarak terdekat saat itu, misalnya sejauh satu kilometer untuk berganti angkot dan mobil jemputan. Atau dua kilometer untuk mencapai sekolah terdekat.
Lalu apa manfaat aku mengingat-ingat hal itu bagi orang lain? Tidak ada. Bahkan bagiku sendiri juga tak ada. Ketika aku ingat, itu pun tak memperkaya diriku. Namun jika aku tak ingat, hal itu pun tak mempermiskin aku.
Lalu apa manfaat apa yang aku coba ingat bagi pembaca blog ini? Aku tak tahu. Namun aku yakin, dan selalu terbukti, ada saja orang yang membaca. Mungkin mereka tersesat ke blogku. Atau ingin iseng membuang waktu.
Terima kasihku untuk pembaca.
Tabik.