Tadi sore saya lihat Google merekomendasikan artikel CNBC Indonesia, bahwa tol adalah singkatan tax on location. Itu berita dua hari lalu (31/1/2025), isinya sama dengan edisi empat pekan sebelumnya (5/1/2025). Rujukannya juga sama, dari Daihatsu Indonesia. Laman pemuatan kedua artikel juga sama, di Berita Lifestyle.
Maka di sini saya tak membahas soal yang sama, karena catatan perihal tol sudah saya tulis 10 Januari 2025. Soal pemuatan ulang tersebut, anggap saja kecelakaan teknis, dengan maupun tanpa campur tangan robot.
Hal yang membuat saya heran adalah mengapa CNBC Indonesia mempertahankan kesalahkaprahan. Sebenarnya saya punya keheranan lain, CNBC Indonesia berbeda gaya dari CNBC Amerika. Hal serupa dilakukan CNN Indonesia. Kedua media berlisensi asing itu dari penerbit yang sama.
Dalam hal apa? Bukan perihal edisi Amerika berbahasa Inggris dan edisi sini berbahasa Indonesia, melainkan sering menghindari judul yang hanya layak menjadi tangkapan layar karena sudah jelas. Artikel dan berita dibuat demi trafik, bukan demi skrinsyot yang mudah dibagikan namun tak mengundang kunjungan. Ini penyakit sebagian media berita daring Indonesia.
Sebagai wong old skool yang menjadi konsumen media, saya menyebut penjudulan tak jelas di media daring itu sebagai “jurnalisme segini”. Misalnya dalam berita harta Budiman Sudjatmiko (24/8/2023) dan gaji PNS (30/7/2025).
Kecenderungan ini merata. Bahkan Kompas.id pun ikut, sehingga memunculkan berita “berbegini” perihal Presiden Jokowi (24/4/2024), juga disertai gaya bertutur mbulet, sehingga inti kabar ada pada paragraf keenam, dalam berita berisi sepuluh paragraf. Tulisan mbulet dipercaya bisa menahan pembaca lebih lama.
Tetapi mungkin inilah demokrasi: mayoritas pembaca tidak protes, jadi kenapa mesti dipusingkan?