Berita seorang anggota kepolisian (bukan oknum) di Pemalang, Jateng, menipu sebuah keluarga dengan menjanjikan lolos seleksi, itu mengesalkan. Memang, kita bisa membuat tilikan berdasarkan pengandaian:
- Praktik rekrutmen di kantor pemerintah melalui jalur ilegal dianggap lumrah, istilah orang dalam sudah jelas konotasinya — Anda ingat kasus judi daring di Kemenkominfo (Kemendigi)?
- Masyarakat sudah lama mendengar, di Polri memang (pernah) berlangsung prosedur ekstra, dari rekrutmen awal sampai kenaikan pangkat dan mutasi: harus setor duit
- Bukan hanya dalam kasus di Polri, secara umum setiap kali terjadi penipuan oleh orang dalam maka yang terutama disalahkan adalah korban — sudah dirugikan masih dibodoh-bodohkan pula
- Mengapa sampai muncul korban, lihat poin pertama — ya, ini soal lingkaran setan
Apakah lingkaran setan koruptif macam ini bisa diputus? Kepolisian Hong Kong bisa (¬ Hukumonline, 2015). Memang muncul tanggapan, Hong Kong itu kecil wilayahnya. Serupa orang mengomentari Singapura yang bersih, dari lingkungan sampai birokrasinya. Baiklah.
Bagi saya, kalau Polri akan mengerem pol kejahatan oleh anggotanya, sanksinya harus berat: pemecatan (¬ terbaru: kasus DWP). Kalau kasus sampai di pengadilan, hukuman harus maksimum, karena ada faktor pemberat yakni mencemarkan korps dan merusak kepercayaan publik terhadap lembaga. Faktor meringankan tak usah direken, karena “berhasil menggagalkan” itu memang tugas, sudah default, serupa pompa air harus bisa menyedot air.
Hal sama berlaku untuk lembaga lain di bidang penegakan hukum. Kasus-kasus di Mahkamah Agung itu mencerminkan “para-para pelakunya” tak paham makna kata agung (¬ arsip: Gazalba Saleh dan Zarof Ricar).
- Detik: Fakta-fakta Polisi Pemalang Tipu Penerimaan Polri Rp 900 Juta Jadi Tersangka
- TribunJateng: Oknum Polisi Pemalang Tipu Rp1,4 Miliar dengan Janji Masuk Kepolisian, Korban Malah jadi Tukang Sapu