Saya tersenyum, semoga tak ada yang melihat, saat berhenti di depan balai RW itu karena membaca peringatan darurat. Saya tak tahu itu edisi kapan namun nyatanya masih terpasang pada bulan November.
Saya menduga kertas maklumat itu dari edisi Agustus lalu, saat banyak RW menyelenggarakan pentas seni. Kebetulan bulan itu topik publik yang ramai adalah peringatan darurat.
Peringatan darurat? Karena ada orang yang ingin syarat usia kandidat dalam UU Pilkada dimudakan agar anaknya bisa ikut. Dia ingin mengulangi sukses di jalur Mahkamah Konstitusi untuk merevisi pakem agar anak sulungnya bisa ikut pilpres. Untunglah, upaya busuk licik nista tanpa rasa malu untuk anak bungsu via revisi di DPR itu gagal karena masyarakat waras menentangnya.
Darurat. Mencerminkan sesuatu yang gawat atau genting. Dan tentu sifatnya sementara, temporer. Maklumat ini pun, jika benar dipasang pada Agustus, tentu juga sementara.
Coba tengok sekitar, atau rumah sendiri, adakah sesuatu yang terpasang atau tertata atas nama kedaruratan namun akhirnya permanen? Saya termasuk pelaku urusan macam itu.
Sekarang bulan pilkada. Seperti halnya pada pemilu, semua alat peraga kampanye dianggap sementara namun pemasangnya enggan mencopoti setelah acara usai. Orang lebih bersemangat memasang daripada menanggalkan — kecuali untuk busana yang hanya terburu-buru dilepas tersebab gerah atau akan BAB, atau entah.
4 Comments
Di kota saya, jauh sebelum pengumuman paslon gubernur dan wakil gubernur Jateng, di berbagai tempat dipasang baliho dan poster seorang ketua partai tingkat Jateng sebagai cagub. Ternyata, sebelum pengumuman paslon, ketua partai tersebut diangkat sebagai Wakil Menteri Pertanian oleh Presiden Joko Widodo sehingga batal ikut Pilkada Jateng. Meski demikian, sampai sekarang baliho-baliho, yang mestinya bersifat sementara, tidak dicopot oleh orang-orang yang dahulu memasangnya.
Dalam perintah hanya ada pemasangan. Pencopotan jatah satpol PP. Hemat.
Sementara yang berubah menjadi sementahun :))
Lalu semenabad 😂