Mereka berangkat bersama namun dalam perjalanan naik bus maupun setibanya di tempat acara duduk terpisah. Bahwa setelah itu mereka akan mempersatukan diri, silakan saja. Itulah kopi sasetan dengan gula terpisah. Konsumen diberi kesempatan menakar gula. Menolak gula juga boleh.
Saya baru tahu kalau akhirnya Kapal Api mengeluarkan kopi saset dengan gula terpisah. Dulu ketika jenama lain (misalnya cap Gadjah dan Torabika) memasarkan produk macam itu saya heran kenapa Kapal Api dan adik-adiknya dari keluarga PT Santos Jaya Abadi, Sidoarjo, Jatim, tak melakukan hal serupa.
Halah, ini iklan ya? Bukan. Saya menulis soal ini karena setuju dengan pembatasan konsumsi gula dalam makanan dan minuman. Terlalu banyak gula tidak bagus untuk kesehatan. Demikian pula terlalu banyak garam. Yang menjadi masalah adalah kebiasaan orang sejak kecil mendapatkan makanan dan minuman manis — terutama yang didapatkan dari membeli.
Memang tak berarti orang harus berpantang gula. Minum kopi tak harus pahit meskipun banyak penikmat kopi menganjurkan demikian. Pahit itu tak menyenangkan, sehingga ada ungkapan, “Pagi-pagi udah dapet kopi pahit.” Maksudnya sudah disambut hal yang kurang menyenangkan saat memulai hari.
Teguh Karya pada 1984 membuat film Secangkir Kopi Pahit (¬ lihat Film Indonesia). Kini lumrah jawaban jika seseorang ditawari mau kopi pahit atau manis, “Hidup ini udah pahit, jangan ditambah minum pahit.” Padahal mengidap diabetes termasuk kepahitan dalam kehidupan seseorang.
Memang sih tak setiap kopi tanpa gula itu bisa cocok dengan setiap orang. Ada yang pahit asam menyiksa namun ada pula memiliki kemanisan. Namun hanya di kedai kopi lengkap Anda bisa beroleh kopi tak pahit asam amat, atau harus menggiling kopi sendiri, hasil membeli biji yang cocok.
Delapan tahun silam, Pepeng pemilik Klinik Kopi, Jogja, pernah membuatkan secangkir kopi kekuningan tanpa gula yang rasanya manis.
¬ Bukan tulisan berbayar maupun titipan